Senin, 18 Maret 2013

Nazi Jawa dan Kepanikan Barat


Saya mengikuti sebuah diskusi di Huffingtonpost.com, berawal dari sebuah postingan seorang relawan dari luar negeri yang mengajarkan tentang bahayanya Nazi kepada siswa sekolah menengah. Relawan itu tergugah untuk memberikan penjelasan tentang Hitler dan Nazi karena merasa khawatir dengan anak-anak sekolah yang dengan bangga menggunakan simbl-simbol Nazi seperti swastika dan lain-lain.

Tentu menyenangkan ada orang luar yang mau meluangkan waktu mengajarkan sekelumit sejarah Perang Dunia II kepada anak-anak kita, mengingat pelajaran sejarah di sekolah mungkin tidak menyinggung banyak tentang bagian sejarah itu. Dan juga harus disyukuri ada orang luar yang mau memberikan perspektif kemanusiaan, pada sebuah peristiwa sejarah, untuk membantu anak-anak itu memahami konteks sejarah dan mengaitkannya dengan diri mereka, jika mereka berada di dalam konteks sejarah itu. Pertanyaan yang sangat bagus diajukan sang guru, apakah jika kalian hidup di jaman itu dan di wilayah itu, kalian akan bertahan hidup?


Tetapi yang menarik perhatian saya, bukan kiprah sang guru dan interaksi dia dengan anak-anak didiknya. Yang menjadi perhatian saya adalah komentar atas postingan itu, yang—mudah-mudahan saya salah—begitu khawatir dengan perilaku anak-anak itu, hanya karena mereka mengenakan simbol-simbol Nazi. Dan diskusi pun mengarah pada sentimen anti-Yahudi atau Judeophobia di Indonesia, yang sebenarnya terlalu rumit untuk dapat segera disimpulkan, bahwa dandanan anak-anak itu menggambarkan sikap anti-Yahudi.

Juga muncul tudingan, sikap anti-Yahudi disebabkan peran ulama Islam dan media yang ikut mengkampanyekannya. Ya, saya setuju itu menjadi salah satu faktor, tetapi bukan satu-satunya, dan belum tentu juga menjadi faktor yang dominan. Dan sejujurnya, saya kerap merasa gerah dengan khotbah kaum ulama yang membuang-buang waktu dengan mengobarkan kebencian kepada Yahudi dan umat lain, padahal persoalan kemiskinan dan kebodohan umat mereka menjadi pokok persoalan yang harus segera dicari solusinya.

Ada juga tudingan, bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang rasis, dan dituding telah melakukan genocide terhadap etnis Tinghoa. Saya percaya memang ada sikap rasis di sebagian orang di bangsa ini, juga ada pembunuhan terhadap etnis Tionghoa dalam beberapa even sejarah bangsa ini. Tetapi tudingan itu tidak dapat begitu saja diarahkan secara umum.

Kalau mau disebut genocide terhadap etnis Tionghoa, yang melakukannya pertama kali adalah VOC di Batavia. Pembunuhan yang dilakukan secara sistematis, untuk meredam pemberontakan. Dan justru genocide yang dilakukan oleh negara kepada yang tertuduh sebagai komunis pada 1965 tidak dibahas di diskusi itu. Pun demikian peristiwa Tanjung Priok, dan lain-lain.

Kembali ke persoalan Nazi, saya sendiri sebenarnya tidak terlalu khawatir anak-anak yang menggunakan simbol Nazi akan terjerumus pada gerakan neo-Nazi. Saya hanya melihat mereka sebagai anak-anak yang kurang mendapatkan cerita yang utuh tentang sejarah Hitler, Nazi, dan Perang Dunia II. Mereka hanya terpesona oleh “kegagahan” yang ditunjukkan Hitler dan pasukannya, tanpa mengetahui apa yang dilakukan orang-orang gila itu. Kalau melihat sepintas tanpa menganalisa, paling saya hanya akan menyebut anak-anak itu sebagai anak kampungan atau tidak terpelajar.

Dan argumen itulah yang saya coba sampaikan di dalam diskusi atas postingan di Huffingtonpost. Bahwa perilaku sebagian kecil anak-anak Indonesia, di Pulau Jawa, tidak perlu dikhawatirkan dan mereka tidak perlu menghakimi seluruh bangsa ini, karena mereka tidak memahami konteks masyarakat seperti apa yang mereka bicarakan, dan bagaimana alur sejarah bangsa ini.

Saya katakan, isu Nazi dan Judeophobia bukan persoalan besar di sini. Isu-isu itu hanya menjadi bagian dari penyaluran kekecewaan saja, atas apa yang dialami oleh sebagian orang di negara ini. Konteks sejarah kita juga tidak banyak bersimpang jalan dengan apa yang dialami oleh umat Yahudi dan Nazi dalam Perang Dunia II. Dan jelas bagi bangsa ini, ketika kita membicarakan sejarah seputar Perang Dunia II, yang menjadi musuh di mata kita adalah Belanda, Jepang, dan Sekutu. Karena tiga pihak itu yang membawa kesengsaraan perang secara langsung kepada banga kita. Tidak ada Nazi. Tidak ada Yahudi.

Tetapi bukan artinya saya tidak bersimpati atas apa yang dialami umat Yahudi Eropa saat Nazi berkuasa. Hanya saja, sulit bagi kita untuk memberikan empati secara nyata, kecuali ikut berbela sungkawa. Karena menurut saya, penderitaan bangsa ini pun masih banyak yang harus diungkap dan dipikirkan.

Bagi saya, alih-alih menunjukkan kekhawatiran yang besar terhadap anak-anak yang menggunakan simbol Nazi, saya lebih khawatir jika anak-anak tidak tahu sejarah bangsa ini yang tak kalah kelam. Pembantaian (mungkin jutaan) orang-orang yang tertuduh sebagai komunis setelah 1965 masih belum berani kita buka dengan jujur, penculikan dan pembunuhan orang-orang yang menentang Orde Baru, juga belum terungkap dengan tuntas. Belum lagi beragam penganiayan terhadap para aktivis buruh, petani, dan para jurnalis, masih terus membayangi sampai hari ini.

Saya juga juga lebih mengkhawatirkan sikap tidak toleran yang ditunjukkan kaum agama terhadap agama lainnya, apakah itu yang berasal dari kalangan Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan sebagainya. Karena aksi kekerasan atas nama agama sudah terjadi di sini, terhadap umat lain, yang masih saudara satu bangsa. Tetapi saya belum mendengar ada orang Yahudi yang dibunuh atau dipukuli di sini, walau sentimen anti-Yahudi harus diakui memang ada.

Jadi wahai para cendekia yang pintar-pintar di Barat, kami paham apa itu genocide karena kami mengalaminya. Kami paham apa artinya kekerasan atas nama keyakinan karena kami mengalaminya. Kami paham apa artinya menjadi korban penyeragaman kepercayaan karena kami mengalaminya. Kami paham apa artinya diperkosa dan dibunuh oleh bangsa lain, karena kami mengalaminya. Kami paham artinya diskriminasi ras dan kewarganegaraan, karena kami mengalaminya, bahkan sebagian dari kami mengalaminya di negara-negara anda, juga di kedutaan-kedutaan besar anda di negara ini.

Kami tidak takut Nazi akan berkembang di sini, karena itu terlalu bodoh untuk dilakukan. Yang kami takutkan adalah akar dari Nazi itu sendiri: fasisme dan sikap merasa benar sendiri yang selalu mencari ruang untuk berkembang, dengan wujud yang lain, wajah yang lain, seragam yang lain.

Dan tudingan tanpa dasar terhadap perilaku bangsa lain, juga adalah tradisi dari fasisme itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar