Rabu, 06 Maret 2013

Bagian Cerita dari Reportase "Dimabuk Santolo"



Keluar dari ruang nakhoda, sinar matahari sudah lembut, tetapi belum jingga. Angin laut terasa segar. Saya melangkah ke ruang belakang untuk mengambil keresek berisi buah-buahan, kemudian ikut bergabung dengan Bangkit di haluan.
“Merasa mual, tidak?” tanya saya.
“Lumayan. Tadi terasa sangat mual, tetapi setelah makan kedondong, rasanya jadi lebih ringan,” jawab Bangkit.
Kami saling menatap. Entah kenapa, perut saya terasa seperti digelitik. Rasanya ada dorongan yang begitu kuat untuk tertawa terbahak-bahak. Lalu tawa saya meledak, tanpa sebab.
Bangkit pun demikian. Kami tertawa-tawa, sampai terkekeh-kekeh, tanpa tahu alasan kenapa kami tertawa. Lalu semuanya terasa begitu ringan. Seperti melayang. Kondisi ini mirip dengan mabuk karena mengisap ganja.
“Kenapa ya terasa seperti ini?” saya bertanya sambil terkekeh-kekeh.
“Tidak tahu,” jawab Bangkit, juga terkekeh-kekeh.
“Kalian kenapa?” tanya Agus, yang melongok dari ruang nakhoda, sambil ikut tertawa.
Kami tidak dapat menjawab. Kami tidak kuat menahan tawa, sampai mengeluarkan air mata.
Agus tertawa keras. “Kalian kena mabuk laut!”
Saya terdiam sebentar. Lalu tawa itu meledak lagi, bahkan lebih dahsyat.
Mabuk laut?! Ya, Tuhan! Kalau mabuk laut memang seperti ini, saya harus benar-benar mensyukurinya. Ini mabuk yang paling membahagiakan!
“Zak, ini mabuk yang halal!” ucap Bangkit, terkekeh.
Tawa saya meledak semakin hebat. Saya tertawa sampai berurai air mata. Wajah saya terasa kebas.

-Bagian cerita ini diambil dari tulisan saya yang berjudul "Dimabuk Santolo", dalam buku kumpulan reportase "Komedi Sepahit Kopi" yang akan segera terbit-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar