Jumat, 24 April 2015

Anda

Suatu hari saya bertemu seorang mantan wartawan yang sudah sepuh. Dalam obrolan kami, dia mengeluhkan sikap para wartawan muda yang menurut dia tidak lagi mempedulikan sopan santun saat mewawancarai narasumber. "Coba bayangkan, sekarang anak-anak muda itu berani-beraninya bertanya kepada seorang pejabat dengan menggunakan kata 'anda'," kata wartawan sepuh itu.
Saya tanya, "Memangnya apa yang salah dengan kata 'anda'?"

Dia menjawab, "Itu tidak sopan, seharusnya wartawan-wartawan muda itu bertanya dengan menggunakan kata 'Bapak' atau 'Ibu'. Para narasumber itu kan lebih tua umurnya dari wartawan-wartawan itu."

Keluhan semacam itu, bukan dari dia saja yang pernah saya dengar. Beberapa orang, yang biasanya berusia di atas lima puluh tahun, sering mengeluhkan penggunaan kata "anda" oleh anak muda saat bertanya kepada orang yang lebih tua, atau kepada orang memiliki jabatan tinggi. Bahkan kabarnya, ada juga dosen yang tersinggung oleh mahasiswa yang menggunakan kata "anda" saat bertanya kepada dosen itu.

Saya tidak tahu kenapa ada orang-orang yang tersinggung saat ditanya dengan menggunakan kata "Anda". Karena kata "Anda" secara harfiah berarti "yang mulia" atau "yang terhormat".

Rosihan Anwar, di dalam bukunya "Bahasa Jurnalistik dan Komposisi" (cetakan keempat, 1991, hal. 10-12) memaparkan, kata "Anda" diperkenalkan ke dalam khazanah bahasa Indonesia pada pertengahan tahun 1950-an, sebagai salah satu upaya untuk menghilangkan unsur aristokrasi feodal dalam cara berbahasa orang Indonesia. Rosihan Anwar sendiri mengutip argumen Sutan Takdir Alisjahbana yang menulis di bukunya "Indonesia in the Modern World" (New Delhi, 1961), bahwa kata "anda" diharapkan dapat menjadi kata ganti orang kedua yang serupa dengan "you" di dalam bahasa Inggris.

Lalu siapa yang menemukan, atau lebih tepatnya memperkenalkan kata "anda" ke dalam bahasa Indonesia?

Yang memperkenalkan kata "anda" ke dalam bahasa baku Indonesia, adalah seorang kapten Angkatan Udara Republik Indonesia, bernama Sabirin. Dia menggali kata "anda" dari Kamus Modern Bahasa Indonesia yang disusun oleh Sutan Mohamad Zain.

Sebelum memperkenalkan kata "anda" Sabirin berkonsultasi dengan Sutan Mohamad Zain, yang kemudian setuju "anda" dipakai sebagai kata ganti orang kedua yang sama dengan "you". Sutan Mohamad Zain menjelaskan, kata "anda" awalnya terdiri dari satu kata saja, yaitu "ra" dari bahasa Kawi yang berarti "yang mulia". Dalam perkembangannya, kata "ra" berubah menjadi "da". Satu suku kata itu di masa kemudian diberi awalan "an", sehingga penyebutannya menjadi "anda".

Lalu kapan kata "anda" pertama kali digunakan secara tertulis sebagai bahasa media massa?

Rosihan Anwar mencatat, "...kata anda itu diperkenalkan pertama kali dalam harian Pedoman, Kemis [sic] tanggal 28 Februari 1957."

Penggunaan kata "anda" oleh Pedoman, bukannya tanpa tentangan. Pesaing Pedoman, Harian Rakyat, yang berhaluan komunis menentang penggunaan kata "anda" dan mengajukan tandingannya, yaitu kata "andika". Tetapi, tulis Rosihan Anwar, kata "andika" tidak pernah mendapat pasaran, dan yang laku akhirnya ialah kata "anda".

Kemudian, Sutan Takdir Alisjahbana menyatakan, "Makna hakiki kata anda ialah 'pendemokrasian dalam kata ganti'. Mempopularkan kata anda berarti juga membantu tumbuhnya masyarakat Indonesia yang demokratis." Sutan Takdir Alisjahbana mengusulkan kata "anda" ditulis secara seragam dengan huruf awal kapital. Tujuannya? "Untuk mencegah perasaan feodal masuk pula, yaitu kepada orang tinggi dipakai huruf besar, kepada yang rendah dipakai huruf kecil," demikian Sutan Takdir Alisjahbana dalam Pedoman Minggu, 14 April 1957.

Jadi, bapak, ibu, tuan, nyonya sekalian, tidak perlulah kita merasa tersinggung ketika dipanggil dengan kata "anda" oleh anak muda. Karena kalau merasa tersinggung, berarti bapak, ibu, tuan dan nyonya sekalian masih bermental feodal, berjiwa priyayi, dan mengkastakan manusia.

Zaky Yamani, 22 Mei 2013

Kesaksian Tom Joad yang Menitip Mati

Now Tom said, "Mom, wherever there's a cop beatin' a guy, wherever a hungry newborn baby cries, where there's a fight 'gainst the blood and hatred in the air, look for me Mom I'll be there

-bagian lirik “The Ghost of Tom Joad”, ditulis dan dinyanyikan oleh Bruce Springsteen-

Saya mengenal bagian lirik itu awalnya bukan karena mendengar Bruce Springsteen bernyanyi. Saya mendengarnya dari nyanyian (atau lebih tepatnya orasi) Zack de la Rocha, vokalis Rage Against the Machine. Tadinya saya berpikir lirik ituditulis Zack, karena saya terbiasa membaca syair-syair politis yang dia tulis. Saya kaget ketika akhirnya mengetahui lagu The Ghost of Tom Joad ternyata milik Bruce Springsteen. “Bisa ya orang setua itu menulis lirik sekuat ini?” pikir saya. Tentu saja itu pertanyaan bodoh, dari orang yang tidak mengenal karya-karya Bruce.

Kemudian saya penasaran, siapa sebenarnya Tom Joad? Apakah dia semacam pejuang kemanusiaan dari Amerika? Apakah dia sosok seperti MartinLuther King, Jr., atau Malcolm X, atau Mumia Abu Jamal?

Ternyata Tom Joad adalah tokoh fiksi. Dia tokoh di dalam novel John Steinbeck “Grapes of Wrath”. Novel itu mengisahkan perjalanan Tom Joad dan keluarganya dari Oklahoma ke California. Tom diceritakan sebagai orang yang dipaksa miskin, di masa depresi ekonomi Amerika. Tom yang baru keluar dari penjara menyaksikan keluarganya diusir dari lahan pertanian mereka.  Lalu dia memutuskan untuk menolong, walau harus melawan hukum lagi.

Walau tokoh fiksi, ide dan aksi Tom Joad cukup berpengaruh bagi kalangan muda Amerika. Nama Tom Joad menjadi ikon dalam gerakan protes untuk keadilan sosial. Ini bagian dari ucapan Tom Joad dalam novel “Grapes ofWrath” yang mungkin disadur oleh Bruce Springsteen menjadi bagian lirik “TheGhost of Tom Joad”:

Then it don’ matter. Then I’ll be all aroun’ in the dark. I’ll be ever’where- wherever you look. Wherever they’s a fight so hungry people can eat, I’ll be there. Wherever they’s a cop beatin’ up a guy, I’ll be there. If Casy knowed, why, I’ll be in the way guys yell when they’re mad an’- I’ll be in the way kids laugh when they’re hungry an’ they know supper’s ready. An’ when our folks eat the stuff they raise an’ live in the houses they build- why, I’ll be there. See? God, I’m talkin’ like Casy. Comes of thinkin’ about him so much.Seems like I can see him sometimes.

Jauh sebelum Bruce Springsteen menulis “The Ghost of Tom Joad”,musisi balada Woody Guhtrie yang namanya terkenal di tahun 1950-1960-an, menulis lagu yang terinspirasi karya Steinbeck , judulnya “The Ballad of Tom Joad”. Baik Springsteen maupun Guthrie, menyanyikan kisah Tom Joaddengan syahdu. Tetapi “The Ghost of Tom Joad” dinyanyikan oleh Zack de la Rocha dengan amarah.

Dia seperti sedang berpidato dengan latar hentakan alat musik elektronik. Tetapi dengan gaya bernyanyi dan musik latar yang seperti itu, kisah Tom Joad dapat dibawa ke masa kini, ke dalam gaya protes anak muda jaman sekarang. Saya lebih tergugah mendengar gaya bernyanyi Zack, dibandingkan cara Springsteen membawakannya. Misalnya di bagian ini:

Now Tom said"Mom, wherever there's a cop beatin' a guy, wherever a hungry newborn baby cries, where there's a fight 'gainst the blood and hatred in the air, look for me Mom I'll be there
Wherever there's somebody fightin' for a place to stand or decent job or a helpin' hand, wherever somebody's strugglin' to be free, look in their eyes Mom you'll see me."

Zack menyanyikan bagian lirik di atas seperti orang yang bersumpah dengan amarah di dadanya. Sekaligus juga seperti orang yang dengan bangga berjanji kepadanya ibunya, bahwa pilihan hidupnya untuk melawan ketidakadilan adalah jalan yang hidup yang paling tepat.

Bagi saya, lirik lagu yang sekuat “The Ghost of Tom Joad” ada bandingannya dalam khazanah lagu Indonesia, yaitu “Kesaksian” yang dinyanyikan Iwan Fals. Mungkin akan menarik, jika suatu hari ada yangmembawakan “Kesaksian” dengan amarah, seperti Zack de la Rocha membawakan “The Ghost of Tom Joad”.

Sayang, di Indonesia sangat jarang musisi Indonesia yang mengambil referensi menulis liriknya dari karya-karya prosa negeri sendiri. Juga jarang ada musisi mainstream Indonesia yang memiliki kemampuan menulis lirik yang kuat, yang dapat memberi pasokan energi pada sebuah gerakan protes.

Sedikit musisi yang memiliki kemampuan itu, memilih tidak muncul ke wilayah mainstream. Salah satu yang menjadi favorit saya adalah Mukti-Mukti. Bagi saya lagu Mukti yang berjudul “Revolution Is (Menitip Mati)” terasa sama kuatnya dengan “Kesaksian” dari Iwan Fals, “The Ghost of Tom Joad”dari Bruce Springsteen, dan “A Hard Rains-a-Gonna Fall” milik Bob Dylan. Lagu itu selalu menjadi pengingat bagaimana saya seharusnya melihat kehidupan.

Zaky Yamani

Laci Tukang Cukur

Sudah 20 tahun saya selalu memangkas rambut di tempat pangkas rambut "Sesuai". Lokasinya sekitar 300 meter arah utara simpang Dago. Saya setia memangkas rambut di "Sesuai", bukan karena di tempat cukur itu rambut saya bisa dibuat bergaya macam-macam. Karena gaya rambut saya sejak kelas 2 SMA selalu sama, dipotong sampai hanya tersisa satu atau dua sentimeter.

Tentu saja saya tidak akan datang lagi ke "Sesuai" jika tukang cukurnya senang bereksperimen tanpa persetujuan pelanggan. Omong-omong tentang tukang cukur yang bereksperimen dengan rambut pelanggannya, saya teringat salah satu kisah yang diceritakan Misbach Yusa Biran dalam buku "Keajaiban di Pasar Senen" (KPG, 2008).

Diceritakan di buku itu, ada seorang tukang cukur di Pasar Senen yang tiba-tiba ingin menjadi seniman. Lalu dia cuti dari kegiatan memangkas rambut, dan bergaul dengan seniman. Satu waktu dia kembali menjadi tukang cukur, namun sikapnya berubah. Wajahnya tampak lebih serius dan ekspresif. Lalu dia mengekspresikan hasrat berkeseniannya kepada rambut pelanggan. Penulis buku itu yang menjadi objek percobaan pertamanya, dan hasilnya sang penulis diputuskan oleh pacarnya, karena gaya rambutnya tak karuan.

Kembali ke kisah "Sesuai", saya betah bercukur di sana karena keakraban bersama para tukang cukurnya. Dan di sana saya tidak hanya dicukur, tetapi juga berbincang tentang banyak hal, termasuk mendapatkan informasi tentang kawan-kawan lama, yang juga menjadi langganan "Sesuai" sejak 20 tahun lalu.

Baru belakangan saya pahami, tempat langganan kita, apakah itu tukang cukur atau kedai kopi, seringkali bermakna lebih dari apa yang mereka kerjakan secara profesional. Tempat kita bercukur atau mengopi memberikan keakraban, kenangan, informasi tentang kerabat atau kawan lama, dan banyak kisah.

Tempat pangkas rambut langganan sebenarnya juga laci, tempat kita-para pelanggannya-menyimpan sejarah dan kisah, yang bisa kita buka kapan pun kita mau, apakah sekadar untuk melihat kembali sejarah yang kita simpan, atau untuk mendapatkan cerita tentang orang-orang dekat yang juga menyimpan sejarah dan kisahnya di laci itu. Para tukang cukur itulah yang menjadi petugas arsipnya: mendengar, menyimpan, menata, dan menyediakannya untuk pelanggan.

Menyebut profesi tukang cukur, orang Garut jagonya. Keahlian memangkas rambut adalah warisan turun-temurun orang Garut, terutama di wilayah Kecamatan Banyuresmi dan sekitarnya. Penelitian tentang mencukur rambut sebagai profesi turun-temurun orang Banyuresmi itu ditulis oleh Iswari, dkk (2007), dan dikutip oleh Mumuh Muhsin Z, dkk,  dalam "Inventarisasi dan Dokumentasi Sistem Mata Pencaharian yang Hidup dan Berkembang di Jawa Barat" (2012).

Disebutkan di dalam penelitian itu, keahlian mencukur diwariskan di dalam keluarga, di mana orang yang sudah ahli mengajarkan keahliannya kepada juniornya. Mereka latihan dengan mencukur rambut anggota keluarga. Junior baru dianggap mahir jika bisa menggunting rambut dengan rapi menggunakan gunting keuyeup atau catok gitek.

Para tukang cukur yang sudah ahli itu kemudian membuka usaha, secara bersama-sama, atau merintis sendiri. Mereka pun menyebar ke berbagai kota. Jika satu atau dua orang sudah cukup mapan, dia akan mengajak kerabat atau kawannya untuk bergabung dalam satu tempat pangkas rambut. Dengan jalur kekerabatan itu mereka menyebar ke berbagai kota dan mengembangkan usahanya.

Tidak ada data yang pasti sejak kapan tukang cukur dari Garut menyebar ke kota-kota lain. Tetapi diyakini, setidaknya sejak 1950-an para tukang cukur dari Garut sudah membuka praktik di Jakarta dan kota lainnya.

Para tukang cukur di "Sesuai" juga berasal dari Garut. Saya pernah tinggal beberapa lama di Garut, dan tidak dapat menghindar dari stereotipe tentang orang Garut. Dalam pandangan saya, orang Garut adalah orang yang senang mengobrol, cepat akrab, dan mengundang orang untuk berbicara atau bercerita.

Jika stereotipe itu benar, maka itu menjadi nilai tambah bagi profesi tukang cukur. Seperti saya tulis di atas, kita berlangganan tukang cukur bukan karena hasil cukurannya saja, tetapi juga karena kita bisa menyimpan atau mengambil sesuatu dari laci sejarah di tempat itu.***



Zaky Yamani, Redaktur di Pikiran Rakyat

Catatan ini terbit di rubrik Fokus, Pikiran Rakyat Minggu, 23 Maret 2014

The Bolshevik Myth dalam Serial di Pikiran Rakyat

Kisah petualangan selalu menarik disimak, terlebih jika kisah itu nyata, bukan fiksi. Dari kisah petualangan, pembaca dapat mengetahui dunia yang jauh, bahkan mungkin tak terjangkau oleh kebanyakan orang. Pembaca juga dapat mempelajari makna perjuangan dan nilai-nilai kemanusiaan, tanpa harus bersusah payah merasakan pahit dan getirnya sebuah perjalanan. Dengan pertimbangan itu Pikiran Rakyat menghadirkan cerita bersambung, ditulis oleh seorang petualang, sekaligus salah satu aktivis dan pemikir anarkis terpenting sampai saat ini, Alexander Berkman (1870-1936).

Cerita bersambung itu diangkat dari buku harian yang ditulisan Berkman, sejak dia diculik oleh agen federal Amerika Serikat pada Desember 1919 sampai dia melarikan diri dari Soviet Rusia pada 1922. Buku harian itu kemudian diterbitkan dengan judul “The Bolshevik Myth” pada 1925, saat Berkman tinggal di Perancis. Untuk cerita bersambung ini, kami mengganti judulnya menjadi “Buron Beruang Merah”, dan diterbitkan setiap hari mulai Senin 12 Mei 2014.

Berkman, dan juga para aktivis anarkis yang lain, adalah sosok yang unik. Mereka dibenci di negara-negara yang menjalankan kapitalisme, juga menjadi buron di negara yang menjalankan komunisme. Karena ideologinya itu, Berkman harus berpindah-pindah negara, karena tidak ada negara yang rela menampungnya.

Bahkan sebelum memilih ideologi anarkisme, Berkman sudah dikejar-kejar penguasa. Dia lahir pada 1870 di Rusia dan tumbuh remaja di sana, pada saat negeri itu masih diperintah oleh Tsar. Karena tekanan politik, dia memutuskan untuk pergi dari negeri kelahirannya ke Jerman pada 1888. Dari Jerman dia pindah lagi ke Amerika Serikat, tempat dia akhirnya belajar anarkisme dan bergabung dalam pergerakan buruh.

Selama di Amerika Serikat, Berkman tumbuh menjadi aktivis anarkis radikal. Bahkan pada 1892 dia “mengorbankan diri” untuk membunuh Henry Clay Frick, seorang manajer perusahaan Carnegie Steel Company. Frick terkenal sebagai orang antiserikat buruh, dan sangat represif menindak aktivis buruh di perusahaannya.

Dalam rencana pembunuhan, Berkman bertugas sebagai eksekutor, dan setelah berhasil membunuh manajer itu, dia akan bunuh diri dengan menelan pil dinamit. Dia berharap, jika rencana itu berhasil, kaum buruh di seluruh Amerika Serikat akan tersulut untuk mengobarkan revolusi.

Rencana itu gagal, walau Berkman sempat menembak dan menusuk korbannya. Dia ditangkap polisi, lalu pengadilan menjatuhkan vonis penjara 21 tahun. Berkman menjalani masa di penjara selama 14 tahun, karena mendapatkan pengurangan hukuman, dan bebas pada 1906. Berada di penjara selama itu membuatnya menjadi pribadi yang berbeda, dari seorang prokekerasan menjadi orang yang antikekerasan.

Tetapi penjara tidak membuat aktivismenya memudar. Sekeluar dari penjara dia tetap aktif memberikan ceramah tentang anarkisme di seluruh Amerika Serikat, dan tetap aktif dalam aksi-aksi demonstrasi buruh.

Berkman kembali dipenjara pada 1917, karena menentang kebijakan wajib militer, saat Amerika Serikat melibatkan diri dalam Perang Dunia I. Dalam memoar teman yang juga kekasih Berkman, Emma Goldman, masa penjara kedua yang dijalani Berkman selama dua tahun begitu kerasnya, sampai memberikan efek yang lebih merusak dibandingkan pemenjaraan pertama yang berlangsung 14 tahun.

Bebas untuk kedua kalinya dari penjara pada 1919, Berkman kembali menjadi aktivis buruh dan politik. Di saat yang sama pemerintah Amerika Serikat ketakutan atas kemenangan revolusi Bolshevik di Rusia, akibatnya Berkman dan para pentolan aktivis anarkis diculik agen federal Amerika Serikat, lalu ditahan di sebuah penjara di Pulau Ellis, di lepas pantai New York. Dari pulau itu, Berkman dan 248 temannya sesama aktivis anarkis, dibuang ke Rusia yang saat itu masih dalam situasi perang.

Dari pemberangkatan ke Rusia, cerita bersambung ini dimulai.

Awalnya Berkman begitu kagum dengan revolusi Bolshevik. Namun antusiasmenya memudar setelah dia menyaksikan banyak ketidakadilan dan kejahatan pada kemanusiaan yang dilakukan kaum Bolshevik. Terlebih saat dia bertemu dengan “guru spiritual” anarkisme, Peter Kropotkin, yang mengalami langsung ketidakadilan kaum Bolshevik. Kropotkin berkata kepada Berkman dan seorang wartawan Inggris yang menyertainya, “Kaum Bolshevik menunjukkan bagaimana revolusi seharusnya tidak dilakukan.”

Pertemuan Berkman dengan para pemimpin revolusi Bolshevik, seperti Vladimir Lenin, Leon Trotsky, dan tokoh-tokoh lainnya memberikan pemahaman lain atas revolusi itu. Rupanya revolusi itu berjalan sukses di dalam imajinasi para pemimpinnya, tetapi tidak dalam tataran rakyat jelata. Berkman mengakui kecerdasan dan keteguhan Lenin, Trotsky, dan lain-lain, tetapi dia menyaksikan keteguhan dan kecerdasan mereka tidak cukup kuat untuk mengatur para “komisar” atau pimpinan-pimpinan bidang dan kewilayahan yang korup, dan lebih kasar lagi, menjadi perampok rakyat.

Alih-alih menciptakan masyarakat yang tanpa kelas, Berkman melihat kaum Bolshevik malah menjadi kelas penguasa baru, yang membuat Rusia nyaris tak ada bedanya dengan masa Tsar: pekat dengan kemiskinan, perampasan, penculikan, dan pembunuhan. Berkman, dan kaum anarkis, juga menjadi sasaran penculikan dan pembunuhan kaum Bolshevik, karena dianggap kontrarevolusi.

Ironis bagi Berkman yang mengagumi Trotsky, karena perintah penyerangan, penangkapan, dan pembunuhan terhadap kaum anarkis dan kaum revolusioner non-Bolshevik, ternyata berdasarkan perintah Trotsky sendiri sebagai panglima Tentara Merah. Dan jika kita membaca sejarah lebih jauh, kita dapat menyaksikan ironi lainnya: Trotsky yang merupakan “anak emas” Lenin diusir dari Soviet Rusia oleh rezim pengganti Lenin, Stalin, yang sangat birokratis dan kejam. Bahkan akhirnya pada 1940 Trotsky dibunuh di Meksiko oleh agen rahasia Uni Soviet atas perintah langsung dari Stalin.

Pengalaman dan kesaksiannya atas revolusi Bolshevik membuat Berkman berubah dari pengagum menjadi pembenci kaum itu. Setelah melarikan diri dari Rusia, Berkman kemudian aktif mengampanyekan sikap anti-Bolshevik.

Walau demikian, revolusi Bolshevik menjadi bagian penting dalam sejarah politik, ekonomi, budaya, dan kekuasaan umat manusia. Tidak hanya itu, revolusi itu menyajikan banyak sekali tragedi dan drama kemanusiaan: kejayaan, cinta, pengkhianatan, kematian, dan kejatuhan. Dan dunia menyaksikan, Uni Soviet—negara terluas di dunia pada era modern—yang dilahirkan oleh revolusi Bolshevik pada 1917, akhirnya runtuh pada 1991.

Kisah petualangan Berkman tidak tersaji dengan mudah ke hadapan pembaca. Berkman menulisnya dalam perjalanan berbahaya mengarungi Samudera Atlantik dan dua tahun tinggal di Soviet Rusia. Saat melarikan diri dari negeri itu, dia harus menyembunyikan buku hariannya dari pemeriksaan berbagai pihak. Buku harian itu sempat hilang untuk beberapa bulan, dan Berkman mencarinya hampir ke seluruh wilayah Eropa. Ketika dia putus asa untuk mendapatkan kembali buku hariannya, tiba-tiba saja buku itu ditemukan di loteng seorang perempuan tua di Jerman.

Cerita Berkman selama di Rusia cukup panjang. Untuk cerita bersambung di Pikiran Rakyat, kami membaginya menjadi 100 edisi. Bagi pembaca serius yang membutuhkan gambaran bagaimana revolusi Bolshevik berlangsung, kisah Berkman memberikan laporan pandangan langsung dari lapangan ketika revolusi masih berlangsung. Sedangkan bagi pembaca yang sekadar ingin menikmati kisah petualangan tanpa tujuan khusus, “Buron Beruang Merah” memberi Anda petualangan yang menegangkan. Selamat mengikuti!

Zaky Yamani
Penerjemah “Buron Beruang Merah” (The Bolshevik Myth)

Blues untuk El Sub

TADI malam istri saya mengajak kencan, menonton pertunjukan musik blues. Tetapi tepat sebelum berangkat, terasa ada yang hilang di dalam dada saya. Sebuah kabar saya baca, yang tidak tahu harus saya anggap sebagai kabar baik atau kabar buruk: Subcomandante Marcos mundur dari kepemimpinan EZLN (Ejército Zapatista de Liberación Nacional/Tentara Pembebasan Zapatista). Kabar itu saya baca di sini http://www.bbc.com/news/world-latin-america-27569695

Seharusnya kejadian itu tidak menimbulkan perasaan kosong seperti ini. Seharusnya saya menyambut baik keputusan "El Sub" Marcos untuk mundur dari kepemimpinan Zapatista. Seharusnya saya gembira sang El Sub memberi kesempatan bagi pejuang Zapatista yang lain untuk menjadi pemimpin dan juru bicara kelompok revolusioner itu. Karena itu artinya Marcos membuktikan dirinya sebagai pejuang yang progresif, dan konsisten dengan ucapannya, bahwa yang penting bukan siapa yang berada di balik topeng itu. Karena yang penting adalah tindakan dan pernyataan siapa pun orang di balik topeng itu mewakili perjuangan Zapatista.

Tetapi saya tidak dapat membebaskan diri dari romantisme dan keinginan untuk melihat El Sub sebagai tokoh drama. Walau sepenuhnya sadar El Sub memang seharusnya memberikan tongkat estafet perjuangan Zapatista kepada pejuang yang lain, tetap saja dari sejak awal mengenal dia melalui tulisan-tulisannya, saya membayangkan akhir perjalanan El Sub di Zapatista akan serupa, atau mendekati, nasib Che Guevara: mati dibunuh musuh atau hilang tak pernah diketahui rimbanya.

Mungkin perasaan kosong tadi malam--juga sampai hari ini--akibat keinginan saya melihat El Sub sebagai tokoh drama revolusi tidak terpenuhi. Mungkin juga, karena di dalam kepala saya tokoh bertopeng bernama Subcomandante Marcos itu tidak bisa dilepaskan dari Zapatista. Begitu pula sebaliknya. Ketika mereka dipisahkan, saya patah hati.

Untuk rasa patah hati yang mendalam ini, saya ingin menuliskan sebuah ode. Tentang bagaimana El Sub mempengaruhi pikiran saya bertahun-tahun, membuat saya jatuh cinta dan berkhayal menjadi gerilyawan di tengah hutan, karena tulisan-tulisannya yang begitu bagus dan kurang ajar.


SEORANG lelaki tidak mencari tempat di mana kehidupan lebih baik. Seorang lelaki mencari tempat di mana kewajiban bisa dilaksanakan.”

El Sub menceritakan, dia membaca tulisan itu di bagian bawah sebuah patung kepala Che Guevara yang dihadiahkan kepadanya, lama sebelum dia memutuskan menjadi gerilyawan di hutan Chiapas, Meksiko selatan. Kabarnya ucapan itu memang pernah diucapkan Che Guevara, walau tidak ada yang bisa memastikan kebenarannya.

Mungkin ide itu yang membuat Marcos pergi ke Chiapas, membawa ransel penuh buku, lalu belajar lagi untuk mendengar dan berbicara dengan penduduk asli, sampai akhirnya memimpin pemberontakan warga asli Chiapas pada 1 Januari 1994. Itu pemberontakan yang “aneh” menurut saya. Karena kaum Zapatista tidak memberontak untuk mendirikan sebuah negara baru. Mereka memberontak untuk tetap berada dalam payung negara Meksiko, tetapi dengan otonomi khusus terutama agar hak-hak adat mereka diakui negara.

Bandingkan, misalnya, dengan pemberontakan-pemberontakan lain di planet ini yang biasanya diletupkan demi pembentukan sebuah negara baru. Kita bisa sebut misalnya pemberontakan GAM di Aceh, OPM di Papua, atau pemberontakan Basque di Spanyol.

Saya terpaku ketika membaca pernyataan para pemimpin Zapatista saat menuntut pengakuan hak-hak masyarakat adat. Sambil menunjuk pada bendera nasional Meksiko, mereka menyatakan pemberontakan itu dilakukan demi bendera itu.

Tetapi bukan pemberontakan untuk hak-hak adat semata yang membuat saya terpaku pada Zapatista dan El Sub. Yang membuat saya jatuh cinta justru komunike-komunike yang disampaikan El Sub. Saat membaca tulisan-tulisannya, saya tidak merasa berhadapan dengan seorang panglima perang. Saya juga tidak merasa berhadapan dengan seorang juru kampanye yang berbicara keras sampai mulutnya berbusa. Alih-alih, saya membaca ide dan argumen pemberontakan, melalui serangkaian kisah yang penuh humor dan satire. Sampai sekarang, saya tidak pernah membaca komunike politik dari siapa pun selain Marcos, yang menghadirkan Alice in Wonderland dan Don Quixote di dalamnya.

Lebih dari segalanya, satu tulisan El Sub yang selalu saya ingat, adalah “Kisah Seuntai Awan Kecil”, sebuah fabel sederhana tentang revolusi dan perjuangan, kaya dengan imajinasi, dan jauh dari jargon-jargon politik yang biasa hadir di pamflet-pamflet politik. Membaca “Kisah Seuntai Awan Kecil” membuat saya berjanji untuk menghapalnya, dan akan menceritakannya kepada anak saya kelak. Sekarang saya sudah memiliki seorang anak perempuan, tak akan lama lagi dia akan saya ajak menikmati kisah-kisah yang dituturkan El Sub.


KISAH-KISAH di seputar Marcos banyak yang ajaib. Ada yang mengatakan dia bisa berada di mana pun, dan mengetahui apa pun. Ada yang mengatakan, Marcos menciptakan jaringan kurir Zapatista yang lebih hebat dari kurir FedEx, dan banyak cerita lain. Saya percaya, semua itu hanya mitos atau cerita yang dilebih-lebihkan tentang dia. Tetapi, saya pun tak bisa menyalahkan mitos yang tercipta, karena Marcos begitu mudah untuk dibuat mitos, karena kecerdasannya dalam menggunakan kata-kata dan bahasa sebagai amunisi utama perjuangan.

Tetapi secerdas apa pun tulisannya, interpretasi pembaca tetap tidak dapat dibatasi, bahkan tulisan El Sub bisa mendapat respon yang menggelikan dari pembacanya, kalau tidak bisa disebut bodoh.

Saya ingat tulisan dia tentang sepatu merah perempuan berhak tinggi, yang selalu dia bawa di ranselnya. Sepatu merah itu bahkan hanya sebelah, tanpa pasangannya. Dan sepatu merah itu oleh Marcos jadikan pengingat, bahwa banyak orang yang mungkin tidak mengerti dukungan apa yang dibutuhkan para pejuang Zapatista. Buktinya, ketika komunike-komunike Marcos tersebar ke publik, banyak orang yang mengirimkan sumbangan, tetapi banyak di antara sumbangan itu yang tidak memberi arti apa-apa bagi Zapatista: termasuk di antaranya sepatu merah berhak tinggi itu. Andai pun sepatu merah berhak tinggi itu lengkap dengan pasangannya, tidak seorang pun gerilyawan Zapatista yang mau memakainya, karena tidak mungkin dipakai untuk bergerilya. Begitu pun, sepatu berhak tinggi itu tidak berguna dipakai masyarakat adat Chiapas yang berbudaya petani.

Tulisan Marcos juga dapat disalahpahami oleh sesama kelompok revolusioner. Saya ingat cerita dia tentang surat yang dia kirim untuk mendukung pemberontakan masyarakat Basque di Spanyol.  Saya lupa bagaimana detail ceritanya, tetapi singkat cerita pemberontak Basque tersinggung dengan ucapan Marcos. Terjadilah proses saling sindir melalui surat.

Mungkin pada akhirnya Marcos pun jengkel dengan sindiran-sindiran dari pemberontak Basque. Sehingga pada satu kisahnya tentang kesalahpahaman itu, dia memulai cerita dengan adegan: saat surat itu datang, dia sedang berak.


BERAPA banyak pimpinan pemberontakan bersenjata, yang juga menulis novel, puisi, dan tulisan-tulisan yang bernas tanpa melupakan humor? Berapa banyak novelis sekelas Gabriel Garcia Marquez yang begitu antusias mewawancarai seorang pemimpin pemberontak?

Ada banyak pemimpin revolusi yang cerdas dengan tulisan yang bernas. Tetapi, diakui atau tidak, mereka semua mencitrakan diri atau dicitrakan oleh pemujanya sebagai sosok yang begitu serius dan kaku. Dari Lenin sampai Soekarno, Tan Malaka sampai Che Guevara, Joseph Broz Tito sampai Mohammad Hatta, atau Mao Zedong, Ho Chi Min, sampai Muso. Mereka revolusioner, tetapi sosok mereka sulit diakrabi. Seringkali intelektualitas mereka malah menjadi pagar dengan massa.

Tetapi bersama El Sub, kita dapat terbahak membaca tulisannya, tanpa melupakan esensi dari tulisan-tulisan itu. Kita diberi ruang untuk tersenyum dan bersikap santai dalam revolusi. Kita dibuat melupakan kepentingan diri kita demi kepentingan orang lain, tanpa dibuat ngeri seperti kengerian yang membayangi revolusi Bolshevik.

Situasi perang gerilya, tidak membuat tulisan Marcos dangkal atau berisi heroisme yang berlebihan. Tulisan-tulisannya tetap terjaga kualitasnya, dan pengaruh sastra terasa begitu kuat. Mungkin itu pula yang membuat Gabriel Garcia Marquez, sang empu sastra realisme magis, mewawancarainya. Marquez memang pengagum pemberontak Zapatista, dan kekagumannya itu tidak terlepas dari pengaruh tulisan-tulisan El Sub. Bahkan Marquez mengatakan, “...apa yang terjadi di Chiapas membuatku ingin membuang buku-bukuku ke laut.”

Petikan wawancara Marquez dengan Marcos dapat dibaca terjemahannya dalam Bahasa Indonesia di sini http://sastraalibi.blogspot.com/2011/08/wawancara-gabriel-garcia-marquez-dengan.html


MARCOS memiliki beberapa nama samaran. Terakhir saya dengar dia menggunakan nama samaran “Delegate Zero”. Tetapi saya lebih nyaman mengenalnya sebagai El Sub saja, kependekan dari Subcomandante. Bahkan sebenarnya Marcos pun bukan nama aslinya.

Kabarnya dia pernah menggunakan nama samaran Zacharias, lalu berubah menjadi Marcos saat menjadi subcomandante. Saya memilih tidak peduli dengan nama aslinya, juga wajah aslinya. Saya hanya ingin mengenal sosok itu sebagai sosok bertopeng, dengan cangklong di bibir, peluru yang menyelempang, senapan, dan menunggang kuda. Dalam berbagai foto, posenya memang seperti itu, dan penampilannya cocok dengan imajinasi saya tentang bagaimana seharusya penampilan seorang pimpinan pemberontak.

Karenanya saya agak terganggu--walau harus diakui jadi penasaran juga--saat Presiden Meksiko Ernesto Zedillo Ponce de Leon pada 1995 mengumumkan, Subcomandante Marcos sebenarnya adalah Rafael Sebastián Guillén Vicente, lelaki kelahiran Tampico pada 1957, seorang mantan profesor, satu dari lima mahasiswa Departemen Filsafat dan Sastra Universitas Otonomi Nasional Meksiko, yang lulus dengan nilai terbaik dan mendapatkan medali kepresidenan dari Presiden Meksiko, José López Portillo, pada 1981.

El Sub tidak pernah mengakui atau membantah identitas itu. Dan akhirnya saya percaya jika El Sub memang Rafael. Foto-fotonya mirip, latar belakang pendidikannya meninggalkan jejak jelas dalam tulisan-tulisannya . Dan tentu saja kenyataan itu mengganggu imajinasi saya.

Tetapi puncak gangguan terhadap imajinasi itu benar-benar terjadi tadi malam.  Bukan saja masalah El Sub yang mengundurkan diri dari EZLN, tetapi dia juga menyiratkan ada perpecahan di tubuh Zapatista.

El Sub menyebutkan ada “perubahan-perubahan internal” di Zapatista. Dia juga menegaskan, suara EZLN tidak akan keluar melalui dirinya lagi. Yang paling mengganggu (semoga ini tidak benar), dia membantah rumor tengang dirinya yang sakit keras, seraya mengatakan, rumor itu disebarkan oleh tentara pemberontak demi keuntungan mereka sendiri.

Ah, saya tidak ingin menganggap berita itu benar, karena saya menikmati imajinasi saya tentang Zapatista dan El Sub. Saya berharap Zapatista terus bergerak dan memberi inspirasi. Begitu juga El Sub Marcos, atau Rafael Sebastián Guillén Vicente, atau siapa pun dia sebenarnya, dapat terus mewarnai dunia dengan tulisan dan imajinasinya. Jika harapan itu tidak terjadi, biarlah Zapatista dan El Sub tetap hidup di dalam kepala saya, seperti saya membayangkan mereka selama ini. Agar saya dapat tetap menceritakan mereka dengan antusias kepada anak-cucu saya. Walau mungkin akhirnya mereka menganggap Zapatista dan El Sub hanya dongeng semata.***

Bandung
27 Mei 2014

Berapa Harga Berita yang Anda Baca di Koran?

Seiring dengan perkembangan media sosial, ruang di mana manusia saling berbagi dan melempar informasi ke ranah publik secara “gratis”, semakin kuat pula ide bahwa informasi (termasuk berita media massa) harus bisa diakses dengan gratis. Alasannya, karena informasi adalah hak warga, dan informasi tidak akan berarti jika tidak bisa diakses dengan mudah.

Itu ide yang benar. Informasi memang hak warga dan harus mudah (termasuk murah atau gratis) diakses. Tetapi muncul pertanyaan, jika informasi--terutama berita di media massa--diberikan secara cuma-cuma, siapa yang membayar para pencari informasi, dari reporter, editor, pemimpin redaksi, dan struktur di dalam institusi media? Karena media massa adalah institusi swasta, yang harus mencari uang sendiri, tidak seperti badan-badan publik yang mendapatkan dana dari anggaran publik.

Para pakar biasanya akan menjawab, yang membayar para pencari dan penyebar informasi di media massa adalah pengiklan. Karena kabarnya iklan membiayai 80 persen biaya operasional media massa.

Baiklah, jika menggunakan logika itu, tetap ada 20 persen biaya yang tidak terbayar oleh pendapatan iklan. Selain itu, jika bicara tentang industri koran, yang saya tahu, “subsidi” dari pendapatan iklan itu untuk menekan harga jual eceran agar ada di level “masuk akal” atau sesuai dengan “daya beli” pembaca. Artinya, jika murni dihitung biaya produksinya saja, satu eksemplar koran mungkin berharga di atas R5.000, dengan “subsidi”--entah dari pendapatan iklan atau dari mana pun--harganya bisa ditekan hanya menjadi Rp3.000 atau bahkan Rp1.000. Jadi, tidak sepenuhnya benar hidup media massa--terutama media cetak--dibiayai sepenuhnya oleh iklan.

Yang juga mengganjal perasaan saya, bagaimana sebenarnya pembaca menghargai berita yang disajikan oleh para wartawan melalui media massa? Seorang pembaca yang menyatakan berita harus gratis, tentu merasa “ogah rugi” untuk membayar informasi yang dia dapatkan. Padahal, setidak-tidaknya informasi itu telah menghibur dia, atau bahkan meningkatkan pemahaman dia tentang sesuatu.

Saya beberapa kali melihat pujian untuk berita yang disajikan wartawan, tetapi lebih sering membaca komentar bernada negatif. Tentu saja semuanya sah dalam alam demokrasi di mana semua orang bebas untuk mengeluarkan pendapat. Tetapi itu tidak menjawab pertanyaan, bagaimana pembaca menghargai upaya yang dilakukan para wartawan untuk mendapatkan informasi dan menyajikannya ke pembaca?

Menurut saya, penghargaan yang terukur adalah saat seorang pembaca mau berkorban dengan memberikan uangnya demi mendapatkan berita. Uang itu sebenarnya nyaris tidak mungkin mengganti tenaga dan biaya untuk mendapatkan berita, tetapi setidaknya sikap pembaca yang mau membayar untuk mendapatkan berita, telah menunjukkan upaya untuk menghargai kerja tim pemberitaan di media massa.

Pertanyaannya, berapa harga yang selayaknya dibayar oleh seorang pembaca untuk mendapatkan berita dari media cetak? Untuk menjawabnya, kita harus menghitung dulu berapa harga satu eksemplar koran atau majalah (contoh ini saya ambil karena koran dan majalah dikategorikan sebagai media massa berbayar, berbeda dengan TV, radio, atau media online yang dianggap media massa gratis).

Mari kita mulai berhitung.

Saya ambil contoh, koran tempat saya bekerja, Pikiran Rakyat, harga ecerannya Rp2.900, sedangkan harga langganan bulanan Rp65.000 (artinya jika seorang pembaca memilih langganan bulanan, dia hanya membayar Rp2.166 rupiah per edisi). Pikiran Rakyat memiliki 32 halaman. Rata-rata jumlah berita per halaman (tidak termasuk iklan) sebanyak 5 berita. Artinya, rata-rata jumlah berita yang terbit setiap hari (di luar iklan) sebanyak 160 berita.

Dengan demikian, jika kita rata-ratakan, seorang pembeli Pikiran Rakyat secara eceran, hanya membayar Rp18,25 per berita. Bayangkan, satu berita hanya seharga Rp18,25, bahkan tidak ada pecahan uang itu di negara ini.

Anda mungkin akan membantah uraian itu, karena Anda berpikir, yang membayar uang Rp18,25 per berita itu ada puluhan ribu orang, bahkan mungkin lebih dari seratus ribu orang. Jadi seharusnya Rp18,25 itu dikalikan dulu dengan seratus ribu orang, untuk mendapatkan angka yang adil.

Betul sekali. Tetapi, saya sedang mengukur pengorbanan atau harga yang dibayar oleh seorang individu untuk mendapatkan berita. Maka perhitungannya harus seperti itu. Karena seorang individu yang membeli dan membaca koran, mendapatkan manfaat yang personal, sehingga tidak adil jika kita menghitung harga atau pengorbanan secara kolektif.

Dalam wujud yang lain, sebanyak apa jumlah 160 berita itu? Jika rata-rata satu berita terdiri atas 500 kata, maka 160 berita sama dengan 80.000 kata, setara dengan buku berukuran 20 cm x 14 cm, setebal lebih dari 100 halaman. Dapatkah Anda membeli sebuah buku berisi beragam kisah seperti itu dengan harga Rp2.900? Tidak mungkin, bahkan untuk buku bekas sekalipun.

Sekarang saya ingin membawa Anda mengetahui bagaimana wartawan bisa membuat satu berita yang dihargai hanya Rp18,25 oleh seorang pembaca.

Untuk satu berita langsung (straight news) yang berdasarkan peristiwa--katakanlah sebuah peristiwa pembunuhan--seorang wartawan harus melakukan rangkaian kegiatan ini: pergi ke lokasi kejadian, melakukan observasi untuk mendapatkan gambaran lokasi, mewawancarai para saksi atau narasumber yang relevan di lokasi kejadian, menghubungi polisi untuk meminta konfirmasi, membaca beberapa dokumen untuk melengkapi informasi, lalu menulis beritanya sambil memikirkan angle yang paling menarik dari peristiwa itu, kemudian menyerahkan tulisannya kepada seorang desk editor.

Mungkin desk editor-nya akan meminta dia untuk mengulang tulisannya jika masih ada informasi yang kurang, setelah tulisannya dianggap press-klaar, desk editor mengirimnya ke penyunting bahasa, setelah lolos dari penyunting bahasa, berita itu dikirimkan ke bagian tata letak yang akan mengatur posisinya di halaman dan mengatur posisi foto yang dikirim dari desk fotografi, lalu setelah menunggu berita-berita lain, contoh tata letak halaman itu diprint, lalu diperiksa kembali oleh para desk editor, juga oleh redaktur pelaksana atau pemimpin redaksi, lalu dicetak ke plat, dibawa ke mesin cetak untuk dicetak, setelah seluruh edisi koran hari itu selesai dicetak, koran itu dipak, dikirim ke distributor, dari distributor ke pengecer dan juga ke pengantar koran, baru kemudian sampai di tangan Anda.

Itu proses sebuah straight news yang panjangnya mungkin hanya mencakup dua atau tiga kolom dengan tinggi sekitar 10 cm. Apakah Rp18,25 akan menutup biaya produksinya? Tidak.

Bagaimana dengan sebuah berita mendalam/investigatif/interpretatif? Saya akan ceritakan proses yang menjadi standar saya.

Seorang wartawan yang akan melakukan peliputan in-depth, akan berdiskusi dengan saya kurang lebih selama sepekan, untuk mencari fokus dan membuat rencana liputan. Setelah proposal liputan dia saya terima, dia akan mulai meliput berdasarkan rencana itu. Lama liputannya paling sebentar tiga bulan--ada juga yang sampai enam bulan.

Selama proses liputan itu, dia akan membuat laporan perkembangan liputannya setiap pekan. Jika ada informasi yang tidak lengkap dia harus mencarinya. Jika ada narasumber yang sulit dihubungi, dia harus mendapatkannya, bahkan jika harus menunggu berminggu-minggu. Jika ada narasumber yang lokasinya di luar kota atau di luar pulau, dia harus pergi menemui narasumber itu.

Setelah semua informasi lengkap, dan liputannya dianggap selesai, dia akan memilah setumpuk informasi yang diperolehnya dari wawancara, observasi, dan mempelajari ratusan halaman dokumen. Setelah memilih, dia harus membuat kerangka tulisan dan mendapatkan persetujuan saya. Setelah saya setuju dia akan menulis semua hal yang telah dia dapatkan, menyajikannya dalam bentuk sebuah kisah yang menarik dan mudah dipahami pembaca.

Kemudian dia harus memberikan tulisannya itu kepada saya. Jika saya melihat masih ada kekurangan, saya akan berikan lagi tulisan itu ke dia untuk diperbaiki. Setelah tidak ada lagi masalah, saya memberikan tulisan itu ke redaktur pelaksana, yang akan membaca dan memeriksa ulang tulisan itu. Jika tidak ada masalah, tulisan itu akan dikirim ke penyunting bahasa, dan menjalani proses produksi yang sama dengan beragam berita lain.

Berapa biaya untuk sebuah liputan mendalam? Saya bisa pastikan biayanya jutaan rupiah. Jika satu liputan mendalam diterbitkan secara serial dalam 14 edisi misalnya, dengan perhitungan harga per berita per edisi Rp18,25, maka seorang pembaca hanya membayar Rp255,5 saja untuk menghargai proses kerja yang sangat melelahkan--dan kerap membuat seorang wartawan stres dan sulit tidur selama berpekan-pekan--itu.

Proses yang saya ceritakan di atas, belum termasuk pembiayaan untuk kertas, tinta, dan berbagai biaya tetap lainnya. Artinya, saya baru membawa Anda pada proses pembuatan satu berita yang berharga Rp18,25, belum bercerita tentang bagaimana rumitnya sebuah perusahaan media massa beroperasi. Dan saya memang tidak berniat bercerita tentang itu.

Karena saya tidak bicara tentang kertas, tinta, biaya distribusi, dan lain-lain, artinya dapat juga dikatakan saya berbicara tentang sebuah proses umum yang dilakukan seorang wartawan, apa pun bentuk medianya. Apakah dia wartawan koran, majalah, TV, radio, atau online, proses itulah yang mereka jalani. Untuk sebuah straight news dan sebuah laporan mendalam, seperti itulah ceritanya (tentu minus perbedaan produksinya sampai satu berita bisa dinikmati pembaca/pemirsa, karena di media cetak berita harus dicetak di kertas).

Saya, dan wartawan media cetak lainnya, masih beruntung mendapatkan penghargaan yang nyata, di mana pembaca berita kami juga “berkorban” dengan membayar Rp18,25 per berita per hari, bahkan lebih murah lagi jika harga eceran sebuah koran hanya Rp1.000. Tetapi rekan saya di media yang “gratisan”, seperti TV, radio, dan online, penghargaan itu mereka rasakan hanya ketika ada pembaca atau pemirsa yang memuji laporannya. Jika laporan mereka dianggap salah, atau tidak sreg dengan keinginan pembaca, mereka dicaci-maki. Kita harus ingat, yang memuji atau yang mencaci-maki itu adalah mereka yang tidak membayar apa pun untuk berita yang mereka nikmati (kecuali biaya listrik, pulsa, atau paket data internet).

Mungkin ada di antara Anda yang akan mengatakan saya seorang yang “itungan”. Tidak, saya bukan orang yang “itungan”. Saya hanya sedang menguraikan sebuah kisah, dan mengembalikan nalar kita pada sebuah hubungan timbal-balik yang adil di antara penerima informasi dengan pemberi informasi.

Dengan uraian ini pula, saya ingin menegaskan, berita di media massa tidak seharusnya digratiskan. Para “netizen”, para pembaca “modern” dengan tradisi dan gaya hidup digitalnya, tidak selayaknya memaksakan ide bahwa semua informasi harus gratis, karena itu tidak adil bagi para pencari dan penyaji informasi. Seharusnya setiap penikmat atau pengguna berita menunjukkan penghargaannya pada proses bagaimana sebuah berita dapat tersaji, walaupun misalnya hanya seharga Rp18,25.***

Bandung
2 Juni 2014

Menjadi "Bandar"

Awalnya saya berniat membuat cerpen tentang orang yang dipandang sebagai penjahat, tetapi malah berlanjut menjadi novel. Itu terjadi pada 2001 atau 2002. Lalu sampai 2013, proses menulis itu seperti tidak pernah selesai. Saya tidak pernah puas dengan hasilnya, karenanya proses bongkar-pasang atas naskah itu seperti tidak berujung. Sampai akhirnya saya harus menahan diri dan merasa cukup dengan naskah itu, lalu mengirimnya kepada penerbit.

Selanjutnya, seperti dialami banyak penulis lain, naskah novel itu mengalami penolakan demi penolakan. Saya lupa berapa kali naskah novel ini ditolak. Mungkin sampai lima kali. Walau begitu, saya bersyukur, karena kalau mendengar kisah penulis lain, mereka mengalami penolakan sampai belasan kali.

“BANDAR”, saya pikir, cukup mudah dibaca. Kisahnya berpusat pada keluarga kriminal, dan saya mencoba menggali nilai-nilai kemanusiaan dari keluarga itu. Nilai-nilai yang lahir bersama aliran sejarah keluarga itu, yang kemudian menjadi alasan atau argumen kenapa keluarga itu menjadi keluarga kriminal.

Walau cukup mudah dibaca, proses penelitian dan menulisnya jauh dari sederhana. Selama sepuluh tahun itu saya tidak berhenti mengamati dan meneliti tentang hal-hal yang berkaitan dengan novel ini. Saya berbicara dengan banyak pelaku kejahatan, melewatkan banyak malam di kantor polisi untuk melihat interaksi di tempat itu, ikut dalam beberapa operasi penangkapan yang berdarah-darah, menyaksikan puluhan sidang pengadilan, mendengarkan percakapan-percakapan di gedung-gedung kejaksaan, di gedung-gedung pengadilan, di gedung-gedung lembaga legislatif dan kantor-kantor pemerintahan, serta mengamati dan berinteraksi dengan orang-orang yang hidup di permukiman kumuh.

Karena novel ini berlatar sejarah Indonesia antara tahun 1945 sampai Orde Baru, saya juga menemui orang-orang yang mengalami masa revolusi kemerdekaan, juga orang-orang tua yang terlibat dalam pemberontakan DI/TII—serta generasi penerus mereka—juga  orang-orang komunis, serta orang-orang nonpartisan yang mengalami masa-masa sulit antara tahun 1945 sampai 1970-an, mencatat kisah-kisah mereka, dan meresapi amarah, harapan, dan terkadang, keputusasaan mereka. Dan tentu saja saya membaca banyak buku sejarah—dalam berbagai versi—untuk mendapatkan kisah sejarah formal.

Bagaimanapun, proses yang berlangsung antara 2002 dan 2012 itu dapat saya jalani karena didukung pekerjaan utama saya sebagai wartawan. Dengan pekerjaan itu, saya relatif mudah mendapatkan akses untuk datang, hadir, mendengar, dan berbicara dengan orang-orang yang saya butuhkan untuk membangun cerita dan tokoh-tokoh di novel ini.

Dan yang tidak dapat saya abaikan, pengalaman hidup sejak masa kecil di sebuah wilayah di Kota Bandung yang terkenal dengan kegiatan kriminalnya. Banyak kisah dari masa kecil saya, yang saya adaptasikan ke dalam novel ini: kekerasan, kematian, aksi-aksi kejahatan, serta gambaran perkampungan di wilayah urban dari masa sebelum kumuh sampai menjadi sangat kumuh.

Ketika semua data yang saya butuhkan mulai memberikan gambaran tentang kisah yang akan saya tulis, ternyata tidak mudah menuliskannya. Berbagai pilihan fokus cerita, pilihan nilai-nilai yang akan disajikan, pilihan setting dan alur, dan lain-lain, begitu banyak alternatifnya. Untuk memilih salah satu, ternyata membutuhkan waktu yang sangat panjang, karena saya harus menguji berbagai kemungkinannya satu per satu. Akibatnya, setelah menulis kerangka cerita dan setengah draft awal, naskah itu saya tinggalkan selama tiga tahun. Selain karena kesibukan pekerjaan utama saya, selama tiga tahun mengabaikan naskah itu memberi saya ruang dan waktu untuk menambah lebih banyak referensi dan data.

Draft awal novel ini kemudian saya selesaikan dalam waktu sekitar satu bulan di awal 2007, ketika saya mendapatkan kesempatan untuk menyepi di sebuah kamar kontrakan yang panas dan pengap, di Manila, Filipina. Siang dan malam yang sebagian besar waktunya saya habiskan hanya dengan menulis, bersama berbungkus-bungkus rokok dan bergelas-gelas Tanduay Rum.

Dalam kerangka draft awal itu naskah novel ini mengalami bongkar-pasang entah berapa kali, baik karena inisiatif sendiri maupun karena ada masukan dari beberapa kawan. Lalu untuk beberapa lama naskah itu saya tinggalkan lagi, karena saya menulis naskah novel lainnya. Baru pada 2009 atau 2010 saya mulai lagi melakukan revisi dan mengirimkan naskah itu dari satu penerbit ke penerbit lainnya, untuk mendapatkan berbagai penolakan. Hampir setiap mendapat penolakan dari penerbit, naskah itu saya revisi lagi, walau tidak semua penerbit memberikan masukan.

Selama masa revisi antara 2009 sampai 2013, baru saya menyadari novel ini memiliki beberapa makna lain bagi saya pribadi. Kisah di novel ini tentu saja fiksi, tetapi bagi saya kisah yang saya tulis sebenarnya sebuah kesaksian panjang, tentang apa yang saya lihat,saya dengar, saya rasakan, dan saya pikirkan tentang negeri ini dan orang-orangnya, sejak saya kecil sampai dewasa. Tentu kesaksian itu tidak dalam bentuk yang detail, tetapi semacam rangkuman tentang apa yang saya saksikan dan saya alami.

Juga tidak saya sadari betul sebelumnya, tiga tokoh utama di novel ini—ibu bernama Dewi, anak bernama Gopar, dan cucu bernama Parlan—adalah personifikasi dari negeri yang saya tinggali. Ibu adalah ibu pertiwi, negeri ini, yang dibebaskan dari penjajahan, tetapi mengalami masa suram yang cukup panjang—dengan berbagai konflik dan pertumpahan darah—dikhianati, diperkosa, dijual, tetapi tetap menjadi tempat pulang yang indah. Anak adalah generasi kedua penguasa negeri ini, yang brutal, penuh dosa, tetapi mendedikasikan semua yang dia lakukan atas nama cinta kepada Ibu. Sedangkan cucu, adalah generasi saya. Generasi yang gamang dan tidak tahu harus melangkah ke mana, karena ketidaktahuan (atau tidak ingin tahu) akar dan sejarah keluarga dan bangsanya. Generasi yang menginginkan hidup yang lebih baik tetapi tidak tahu bagaimana melakukannya. Generasi yang terenyak ketika diberi tahu tentang sejarah kelam dan dosa generasi pendahulunya, sampai tidak mampu mengambil keputusan ketika dihadapkan pada pilihan yang sulit.

Tentu saja novel ini bukan novel yang “inspiratif” yang akan memberikan energi kepada pembacanya untuk menjadi pintar dan kaya. Novel ini juga bukan tentang cinta yang mendayu-dayu. Saya tidak pernah tertarik untuk menyajikan kisah-kisah semacam itu. Saya lebih suka membuat novel saya menjadi cermin, di mana pembaca dapat melihat refleksi yang sejujur mungkin di cermin itu, baik refleksi yang indah maupun buruk.

Apakah novel saya bagus atau buruk, tentu bukan saya yang berhak menilainya. Saya hanya dapat mengatakan, saya berproses untuk melahirkan novel ini. Untuk selanjutnya sidang pembacalah yang akan mengadili saya. Sidang pembaca tentu berhak bertanya dan saya berhak menjawab. Setiap pembaca adalah hakim untuk novel ini. Ketika vonis dijatuhkan oleh setiap hakim—apakah baik atau buruk—saya harus menerimanya dengan lapang dada.

Zaky Yamani
9 Mei 2014