Jumat, 24 April 2015

Menjadi "Bandar"

Awalnya saya berniat membuat cerpen tentang orang yang dipandang sebagai penjahat, tetapi malah berlanjut menjadi novel. Itu terjadi pada 2001 atau 2002. Lalu sampai 2013, proses menulis itu seperti tidak pernah selesai. Saya tidak pernah puas dengan hasilnya, karenanya proses bongkar-pasang atas naskah itu seperti tidak berujung. Sampai akhirnya saya harus menahan diri dan merasa cukup dengan naskah itu, lalu mengirimnya kepada penerbit.

Selanjutnya, seperti dialami banyak penulis lain, naskah novel itu mengalami penolakan demi penolakan. Saya lupa berapa kali naskah novel ini ditolak. Mungkin sampai lima kali. Walau begitu, saya bersyukur, karena kalau mendengar kisah penulis lain, mereka mengalami penolakan sampai belasan kali.

“BANDAR”, saya pikir, cukup mudah dibaca. Kisahnya berpusat pada keluarga kriminal, dan saya mencoba menggali nilai-nilai kemanusiaan dari keluarga itu. Nilai-nilai yang lahir bersama aliran sejarah keluarga itu, yang kemudian menjadi alasan atau argumen kenapa keluarga itu menjadi keluarga kriminal.

Walau cukup mudah dibaca, proses penelitian dan menulisnya jauh dari sederhana. Selama sepuluh tahun itu saya tidak berhenti mengamati dan meneliti tentang hal-hal yang berkaitan dengan novel ini. Saya berbicara dengan banyak pelaku kejahatan, melewatkan banyak malam di kantor polisi untuk melihat interaksi di tempat itu, ikut dalam beberapa operasi penangkapan yang berdarah-darah, menyaksikan puluhan sidang pengadilan, mendengarkan percakapan-percakapan di gedung-gedung kejaksaan, di gedung-gedung pengadilan, di gedung-gedung lembaga legislatif dan kantor-kantor pemerintahan, serta mengamati dan berinteraksi dengan orang-orang yang hidup di permukiman kumuh.

Karena novel ini berlatar sejarah Indonesia antara tahun 1945 sampai Orde Baru, saya juga menemui orang-orang yang mengalami masa revolusi kemerdekaan, juga orang-orang tua yang terlibat dalam pemberontakan DI/TII—serta generasi penerus mereka—juga  orang-orang komunis, serta orang-orang nonpartisan yang mengalami masa-masa sulit antara tahun 1945 sampai 1970-an, mencatat kisah-kisah mereka, dan meresapi amarah, harapan, dan terkadang, keputusasaan mereka. Dan tentu saja saya membaca banyak buku sejarah—dalam berbagai versi—untuk mendapatkan kisah sejarah formal.

Bagaimanapun, proses yang berlangsung antara 2002 dan 2012 itu dapat saya jalani karena didukung pekerjaan utama saya sebagai wartawan. Dengan pekerjaan itu, saya relatif mudah mendapatkan akses untuk datang, hadir, mendengar, dan berbicara dengan orang-orang yang saya butuhkan untuk membangun cerita dan tokoh-tokoh di novel ini.

Dan yang tidak dapat saya abaikan, pengalaman hidup sejak masa kecil di sebuah wilayah di Kota Bandung yang terkenal dengan kegiatan kriminalnya. Banyak kisah dari masa kecil saya, yang saya adaptasikan ke dalam novel ini: kekerasan, kematian, aksi-aksi kejahatan, serta gambaran perkampungan di wilayah urban dari masa sebelum kumuh sampai menjadi sangat kumuh.

Ketika semua data yang saya butuhkan mulai memberikan gambaran tentang kisah yang akan saya tulis, ternyata tidak mudah menuliskannya. Berbagai pilihan fokus cerita, pilihan nilai-nilai yang akan disajikan, pilihan setting dan alur, dan lain-lain, begitu banyak alternatifnya. Untuk memilih salah satu, ternyata membutuhkan waktu yang sangat panjang, karena saya harus menguji berbagai kemungkinannya satu per satu. Akibatnya, setelah menulis kerangka cerita dan setengah draft awal, naskah itu saya tinggalkan selama tiga tahun. Selain karena kesibukan pekerjaan utama saya, selama tiga tahun mengabaikan naskah itu memberi saya ruang dan waktu untuk menambah lebih banyak referensi dan data.

Draft awal novel ini kemudian saya selesaikan dalam waktu sekitar satu bulan di awal 2007, ketika saya mendapatkan kesempatan untuk menyepi di sebuah kamar kontrakan yang panas dan pengap, di Manila, Filipina. Siang dan malam yang sebagian besar waktunya saya habiskan hanya dengan menulis, bersama berbungkus-bungkus rokok dan bergelas-gelas Tanduay Rum.

Dalam kerangka draft awal itu naskah novel ini mengalami bongkar-pasang entah berapa kali, baik karena inisiatif sendiri maupun karena ada masukan dari beberapa kawan. Lalu untuk beberapa lama naskah itu saya tinggalkan lagi, karena saya menulis naskah novel lainnya. Baru pada 2009 atau 2010 saya mulai lagi melakukan revisi dan mengirimkan naskah itu dari satu penerbit ke penerbit lainnya, untuk mendapatkan berbagai penolakan. Hampir setiap mendapat penolakan dari penerbit, naskah itu saya revisi lagi, walau tidak semua penerbit memberikan masukan.

Selama masa revisi antara 2009 sampai 2013, baru saya menyadari novel ini memiliki beberapa makna lain bagi saya pribadi. Kisah di novel ini tentu saja fiksi, tetapi bagi saya kisah yang saya tulis sebenarnya sebuah kesaksian panjang, tentang apa yang saya lihat,saya dengar, saya rasakan, dan saya pikirkan tentang negeri ini dan orang-orangnya, sejak saya kecil sampai dewasa. Tentu kesaksian itu tidak dalam bentuk yang detail, tetapi semacam rangkuman tentang apa yang saya saksikan dan saya alami.

Juga tidak saya sadari betul sebelumnya, tiga tokoh utama di novel ini—ibu bernama Dewi, anak bernama Gopar, dan cucu bernama Parlan—adalah personifikasi dari negeri yang saya tinggali. Ibu adalah ibu pertiwi, negeri ini, yang dibebaskan dari penjajahan, tetapi mengalami masa suram yang cukup panjang—dengan berbagai konflik dan pertumpahan darah—dikhianati, diperkosa, dijual, tetapi tetap menjadi tempat pulang yang indah. Anak adalah generasi kedua penguasa negeri ini, yang brutal, penuh dosa, tetapi mendedikasikan semua yang dia lakukan atas nama cinta kepada Ibu. Sedangkan cucu, adalah generasi saya. Generasi yang gamang dan tidak tahu harus melangkah ke mana, karena ketidaktahuan (atau tidak ingin tahu) akar dan sejarah keluarga dan bangsanya. Generasi yang menginginkan hidup yang lebih baik tetapi tidak tahu bagaimana melakukannya. Generasi yang terenyak ketika diberi tahu tentang sejarah kelam dan dosa generasi pendahulunya, sampai tidak mampu mengambil keputusan ketika dihadapkan pada pilihan yang sulit.

Tentu saja novel ini bukan novel yang “inspiratif” yang akan memberikan energi kepada pembacanya untuk menjadi pintar dan kaya. Novel ini juga bukan tentang cinta yang mendayu-dayu. Saya tidak pernah tertarik untuk menyajikan kisah-kisah semacam itu. Saya lebih suka membuat novel saya menjadi cermin, di mana pembaca dapat melihat refleksi yang sejujur mungkin di cermin itu, baik refleksi yang indah maupun buruk.

Apakah novel saya bagus atau buruk, tentu bukan saya yang berhak menilainya. Saya hanya dapat mengatakan, saya berproses untuk melahirkan novel ini. Untuk selanjutnya sidang pembacalah yang akan mengadili saya. Sidang pembaca tentu berhak bertanya dan saya berhak menjawab. Setiap pembaca adalah hakim untuk novel ini. Ketika vonis dijatuhkan oleh setiap hakim—apakah baik atau buruk—saya harus menerimanya dengan lapang dada.

Zaky Yamani
9 Mei 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar