Jumat, 24 April 2015

Berapa Harga Berita yang Anda Baca di Koran?

Seiring dengan perkembangan media sosial, ruang di mana manusia saling berbagi dan melempar informasi ke ranah publik secara “gratis”, semakin kuat pula ide bahwa informasi (termasuk berita media massa) harus bisa diakses dengan gratis. Alasannya, karena informasi adalah hak warga, dan informasi tidak akan berarti jika tidak bisa diakses dengan mudah.

Itu ide yang benar. Informasi memang hak warga dan harus mudah (termasuk murah atau gratis) diakses. Tetapi muncul pertanyaan, jika informasi--terutama berita di media massa--diberikan secara cuma-cuma, siapa yang membayar para pencari informasi, dari reporter, editor, pemimpin redaksi, dan struktur di dalam institusi media? Karena media massa adalah institusi swasta, yang harus mencari uang sendiri, tidak seperti badan-badan publik yang mendapatkan dana dari anggaran publik.

Para pakar biasanya akan menjawab, yang membayar para pencari dan penyebar informasi di media massa adalah pengiklan. Karena kabarnya iklan membiayai 80 persen biaya operasional media massa.

Baiklah, jika menggunakan logika itu, tetap ada 20 persen biaya yang tidak terbayar oleh pendapatan iklan. Selain itu, jika bicara tentang industri koran, yang saya tahu, “subsidi” dari pendapatan iklan itu untuk menekan harga jual eceran agar ada di level “masuk akal” atau sesuai dengan “daya beli” pembaca. Artinya, jika murni dihitung biaya produksinya saja, satu eksemplar koran mungkin berharga di atas R5.000, dengan “subsidi”--entah dari pendapatan iklan atau dari mana pun--harganya bisa ditekan hanya menjadi Rp3.000 atau bahkan Rp1.000. Jadi, tidak sepenuhnya benar hidup media massa--terutama media cetak--dibiayai sepenuhnya oleh iklan.

Yang juga mengganjal perasaan saya, bagaimana sebenarnya pembaca menghargai berita yang disajikan oleh para wartawan melalui media massa? Seorang pembaca yang menyatakan berita harus gratis, tentu merasa “ogah rugi” untuk membayar informasi yang dia dapatkan. Padahal, setidak-tidaknya informasi itu telah menghibur dia, atau bahkan meningkatkan pemahaman dia tentang sesuatu.

Saya beberapa kali melihat pujian untuk berita yang disajikan wartawan, tetapi lebih sering membaca komentar bernada negatif. Tentu saja semuanya sah dalam alam demokrasi di mana semua orang bebas untuk mengeluarkan pendapat. Tetapi itu tidak menjawab pertanyaan, bagaimana pembaca menghargai upaya yang dilakukan para wartawan untuk mendapatkan informasi dan menyajikannya ke pembaca?

Menurut saya, penghargaan yang terukur adalah saat seorang pembaca mau berkorban dengan memberikan uangnya demi mendapatkan berita. Uang itu sebenarnya nyaris tidak mungkin mengganti tenaga dan biaya untuk mendapatkan berita, tetapi setidaknya sikap pembaca yang mau membayar untuk mendapatkan berita, telah menunjukkan upaya untuk menghargai kerja tim pemberitaan di media massa.

Pertanyaannya, berapa harga yang selayaknya dibayar oleh seorang pembaca untuk mendapatkan berita dari media cetak? Untuk menjawabnya, kita harus menghitung dulu berapa harga satu eksemplar koran atau majalah (contoh ini saya ambil karena koran dan majalah dikategorikan sebagai media massa berbayar, berbeda dengan TV, radio, atau media online yang dianggap media massa gratis).

Mari kita mulai berhitung.

Saya ambil contoh, koran tempat saya bekerja, Pikiran Rakyat, harga ecerannya Rp2.900, sedangkan harga langganan bulanan Rp65.000 (artinya jika seorang pembaca memilih langganan bulanan, dia hanya membayar Rp2.166 rupiah per edisi). Pikiran Rakyat memiliki 32 halaman. Rata-rata jumlah berita per halaman (tidak termasuk iklan) sebanyak 5 berita. Artinya, rata-rata jumlah berita yang terbit setiap hari (di luar iklan) sebanyak 160 berita.

Dengan demikian, jika kita rata-ratakan, seorang pembeli Pikiran Rakyat secara eceran, hanya membayar Rp18,25 per berita. Bayangkan, satu berita hanya seharga Rp18,25, bahkan tidak ada pecahan uang itu di negara ini.

Anda mungkin akan membantah uraian itu, karena Anda berpikir, yang membayar uang Rp18,25 per berita itu ada puluhan ribu orang, bahkan mungkin lebih dari seratus ribu orang. Jadi seharusnya Rp18,25 itu dikalikan dulu dengan seratus ribu orang, untuk mendapatkan angka yang adil.

Betul sekali. Tetapi, saya sedang mengukur pengorbanan atau harga yang dibayar oleh seorang individu untuk mendapatkan berita. Maka perhitungannya harus seperti itu. Karena seorang individu yang membeli dan membaca koran, mendapatkan manfaat yang personal, sehingga tidak adil jika kita menghitung harga atau pengorbanan secara kolektif.

Dalam wujud yang lain, sebanyak apa jumlah 160 berita itu? Jika rata-rata satu berita terdiri atas 500 kata, maka 160 berita sama dengan 80.000 kata, setara dengan buku berukuran 20 cm x 14 cm, setebal lebih dari 100 halaman. Dapatkah Anda membeli sebuah buku berisi beragam kisah seperti itu dengan harga Rp2.900? Tidak mungkin, bahkan untuk buku bekas sekalipun.

Sekarang saya ingin membawa Anda mengetahui bagaimana wartawan bisa membuat satu berita yang dihargai hanya Rp18,25 oleh seorang pembaca.

Untuk satu berita langsung (straight news) yang berdasarkan peristiwa--katakanlah sebuah peristiwa pembunuhan--seorang wartawan harus melakukan rangkaian kegiatan ini: pergi ke lokasi kejadian, melakukan observasi untuk mendapatkan gambaran lokasi, mewawancarai para saksi atau narasumber yang relevan di lokasi kejadian, menghubungi polisi untuk meminta konfirmasi, membaca beberapa dokumen untuk melengkapi informasi, lalu menulis beritanya sambil memikirkan angle yang paling menarik dari peristiwa itu, kemudian menyerahkan tulisannya kepada seorang desk editor.

Mungkin desk editor-nya akan meminta dia untuk mengulang tulisannya jika masih ada informasi yang kurang, setelah tulisannya dianggap press-klaar, desk editor mengirimnya ke penyunting bahasa, setelah lolos dari penyunting bahasa, berita itu dikirimkan ke bagian tata letak yang akan mengatur posisinya di halaman dan mengatur posisi foto yang dikirim dari desk fotografi, lalu setelah menunggu berita-berita lain, contoh tata letak halaman itu diprint, lalu diperiksa kembali oleh para desk editor, juga oleh redaktur pelaksana atau pemimpin redaksi, lalu dicetak ke plat, dibawa ke mesin cetak untuk dicetak, setelah seluruh edisi koran hari itu selesai dicetak, koran itu dipak, dikirim ke distributor, dari distributor ke pengecer dan juga ke pengantar koran, baru kemudian sampai di tangan Anda.

Itu proses sebuah straight news yang panjangnya mungkin hanya mencakup dua atau tiga kolom dengan tinggi sekitar 10 cm. Apakah Rp18,25 akan menutup biaya produksinya? Tidak.

Bagaimana dengan sebuah berita mendalam/investigatif/interpretatif? Saya akan ceritakan proses yang menjadi standar saya.

Seorang wartawan yang akan melakukan peliputan in-depth, akan berdiskusi dengan saya kurang lebih selama sepekan, untuk mencari fokus dan membuat rencana liputan. Setelah proposal liputan dia saya terima, dia akan mulai meliput berdasarkan rencana itu. Lama liputannya paling sebentar tiga bulan--ada juga yang sampai enam bulan.

Selama proses liputan itu, dia akan membuat laporan perkembangan liputannya setiap pekan. Jika ada informasi yang tidak lengkap dia harus mencarinya. Jika ada narasumber yang sulit dihubungi, dia harus mendapatkannya, bahkan jika harus menunggu berminggu-minggu. Jika ada narasumber yang lokasinya di luar kota atau di luar pulau, dia harus pergi menemui narasumber itu.

Setelah semua informasi lengkap, dan liputannya dianggap selesai, dia akan memilah setumpuk informasi yang diperolehnya dari wawancara, observasi, dan mempelajari ratusan halaman dokumen. Setelah memilih, dia harus membuat kerangka tulisan dan mendapatkan persetujuan saya. Setelah saya setuju dia akan menulis semua hal yang telah dia dapatkan, menyajikannya dalam bentuk sebuah kisah yang menarik dan mudah dipahami pembaca.

Kemudian dia harus memberikan tulisannya itu kepada saya. Jika saya melihat masih ada kekurangan, saya akan berikan lagi tulisan itu ke dia untuk diperbaiki. Setelah tidak ada lagi masalah, saya memberikan tulisan itu ke redaktur pelaksana, yang akan membaca dan memeriksa ulang tulisan itu. Jika tidak ada masalah, tulisan itu akan dikirim ke penyunting bahasa, dan menjalani proses produksi yang sama dengan beragam berita lain.

Berapa biaya untuk sebuah liputan mendalam? Saya bisa pastikan biayanya jutaan rupiah. Jika satu liputan mendalam diterbitkan secara serial dalam 14 edisi misalnya, dengan perhitungan harga per berita per edisi Rp18,25, maka seorang pembaca hanya membayar Rp255,5 saja untuk menghargai proses kerja yang sangat melelahkan--dan kerap membuat seorang wartawan stres dan sulit tidur selama berpekan-pekan--itu.

Proses yang saya ceritakan di atas, belum termasuk pembiayaan untuk kertas, tinta, dan berbagai biaya tetap lainnya. Artinya, saya baru membawa Anda pada proses pembuatan satu berita yang berharga Rp18,25, belum bercerita tentang bagaimana rumitnya sebuah perusahaan media massa beroperasi. Dan saya memang tidak berniat bercerita tentang itu.

Karena saya tidak bicara tentang kertas, tinta, biaya distribusi, dan lain-lain, artinya dapat juga dikatakan saya berbicara tentang sebuah proses umum yang dilakukan seorang wartawan, apa pun bentuk medianya. Apakah dia wartawan koran, majalah, TV, radio, atau online, proses itulah yang mereka jalani. Untuk sebuah straight news dan sebuah laporan mendalam, seperti itulah ceritanya (tentu minus perbedaan produksinya sampai satu berita bisa dinikmati pembaca/pemirsa, karena di media cetak berita harus dicetak di kertas).

Saya, dan wartawan media cetak lainnya, masih beruntung mendapatkan penghargaan yang nyata, di mana pembaca berita kami juga “berkorban” dengan membayar Rp18,25 per berita per hari, bahkan lebih murah lagi jika harga eceran sebuah koran hanya Rp1.000. Tetapi rekan saya di media yang “gratisan”, seperti TV, radio, dan online, penghargaan itu mereka rasakan hanya ketika ada pembaca atau pemirsa yang memuji laporannya. Jika laporan mereka dianggap salah, atau tidak sreg dengan keinginan pembaca, mereka dicaci-maki. Kita harus ingat, yang memuji atau yang mencaci-maki itu adalah mereka yang tidak membayar apa pun untuk berita yang mereka nikmati (kecuali biaya listrik, pulsa, atau paket data internet).

Mungkin ada di antara Anda yang akan mengatakan saya seorang yang “itungan”. Tidak, saya bukan orang yang “itungan”. Saya hanya sedang menguraikan sebuah kisah, dan mengembalikan nalar kita pada sebuah hubungan timbal-balik yang adil di antara penerima informasi dengan pemberi informasi.

Dengan uraian ini pula, saya ingin menegaskan, berita di media massa tidak seharusnya digratiskan. Para “netizen”, para pembaca “modern” dengan tradisi dan gaya hidup digitalnya, tidak selayaknya memaksakan ide bahwa semua informasi harus gratis, karena itu tidak adil bagi para pencari dan penyaji informasi. Seharusnya setiap penikmat atau pengguna berita menunjukkan penghargaannya pada proses bagaimana sebuah berita dapat tersaji, walaupun misalnya hanya seharga Rp18,25.***

Bandung
2 Juni 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar