Jumat, 24 April 2015

Laci Tukang Cukur

Sudah 20 tahun saya selalu memangkas rambut di tempat pangkas rambut "Sesuai". Lokasinya sekitar 300 meter arah utara simpang Dago. Saya setia memangkas rambut di "Sesuai", bukan karena di tempat cukur itu rambut saya bisa dibuat bergaya macam-macam. Karena gaya rambut saya sejak kelas 2 SMA selalu sama, dipotong sampai hanya tersisa satu atau dua sentimeter.

Tentu saja saya tidak akan datang lagi ke "Sesuai" jika tukang cukurnya senang bereksperimen tanpa persetujuan pelanggan. Omong-omong tentang tukang cukur yang bereksperimen dengan rambut pelanggannya, saya teringat salah satu kisah yang diceritakan Misbach Yusa Biran dalam buku "Keajaiban di Pasar Senen" (KPG, 2008).

Diceritakan di buku itu, ada seorang tukang cukur di Pasar Senen yang tiba-tiba ingin menjadi seniman. Lalu dia cuti dari kegiatan memangkas rambut, dan bergaul dengan seniman. Satu waktu dia kembali menjadi tukang cukur, namun sikapnya berubah. Wajahnya tampak lebih serius dan ekspresif. Lalu dia mengekspresikan hasrat berkeseniannya kepada rambut pelanggan. Penulis buku itu yang menjadi objek percobaan pertamanya, dan hasilnya sang penulis diputuskan oleh pacarnya, karena gaya rambutnya tak karuan.

Kembali ke kisah "Sesuai", saya betah bercukur di sana karena keakraban bersama para tukang cukurnya. Dan di sana saya tidak hanya dicukur, tetapi juga berbincang tentang banyak hal, termasuk mendapatkan informasi tentang kawan-kawan lama, yang juga menjadi langganan "Sesuai" sejak 20 tahun lalu.

Baru belakangan saya pahami, tempat langganan kita, apakah itu tukang cukur atau kedai kopi, seringkali bermakna lebih dari apa yang mereka kerjakan secara profesional. Tempat kita bercukur atau mengopi memberikan keakraban, kenangan, informasi tentang kerabat atau kawan lama, dan banyak kisah.

Tempat pangkas rambut langganan sebenarnya juga laci, tempat kita-para pelanggannya-menyimpan sejarah dan kisah, yang bisa kita buka kapan pun kita mau, apakah sekadar untuk melihat kembali sejarah yang kita simpan, atau untuk mendapatkan cerita tentang orang-orang dekat yang juga menyimpan sejarah dan kisahnya di laci itu. Para tukang cukur itulah yang menjadi petugas arsipnya: mendengar, menyimpan, menata, dan menyediakannya untuk pelanggan.

Menyebut profesi tukang cukur, orang Garut jagonya. Keahlian memangkas rambut adalah warisan turun-temurun orang Garut, terutama di wilayah Kecamatan Banyuresmi dan sekitarnya. Penelitian tentang mencukur rambut sebagai profesi turun-temurun orang Banyuresmi itu ditulis oleh Iswari, dkk (2007), dan dikutip oleh Mumuh Muhsin Z, dkk,  dalam "Inventarisasi dan Dokumentasi Sistem Mata Pencaharian yang Hidup dan Berkembang di Jawa Barat" (2012).

Disebutkan di dalam penelitian itu, keahlian mencukur diwariskan di dalam keluarga, di mana orang yang sudah ahli mengajarkan keahliannya kepada juniornya. Mereka latihan dengan mencukur rambut anggota keluarga. Junior baru dianggap mahir jika bisa menggunting rambut dengan rapi menggunakan gunting keuyeup atau catok gitek.

Para tukang cukur yang sudah ahli itu kemudian membuka usaha, secara bersama-sama, atau merintis sendiri. Mereka pun menyebar ke berbagai kota. Jika satu atau dua orang sudah cukup mapan, dia akan mengajak kerabat atau kawannya untuk bergabung dalam satu tempat pangkas rambut. Dengan jalur kekerabatan itu mereka menyebar ke berbagai kota dan mengembangkan usahanya.

Tidak ada data yang pasti sejak kapan tukang cukur dari Garut menyebar ke kota-kota lain. Tetapi diyakini, setidaknya sejak 1950-an para tukang cukur dari Garut sudah membuka praktik di Jakarta dan kota lainnya.

Para tukang cukur di "Sesuai" juga berasal dari Garut. Saya pernah tinggal beberapa lama di Garut, dan tidak dapat menghindar dari stereotipe tentang orang Garut. Dalam pandangan saya, orang Garut adalah orang yang senang mengobrol, cepat akrab, dan mengundang orang untuk berbicara atau bercerita.

Jika stereotipe itu benar, maka itu menjadi nilai tambah bagi profesi tukang cukur. Seperti saya tulis di atas, kita berlangganan tukang cukur bukan karena hasil cukurannya saja, tetapi juga karena kita bisa menyimpan atau mengambil sesuatu dari laci sejarah di tempat itu.***



Zaky Yamani, Redaktur di Pikiran Rakyat

Catatan ini terbit di rubrik Fokus, Pikiran Rakyat Minggu, 23 Maret 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar