Jumat, 24 April 2015

Blues untuk El Sub

TADI malam istri saya mengajak kencan, menonton pertunjukan musik blues. Tetapi tepat sebelum berangkat, terasa ada yang hilang di dalam dada saya. Sebuah kabar saya baca, yang tidak tahu harus saya anggap sebagai kabar baik atau kabar buruk: Subcomandante Marcos mundur dari kepemimpinan EZLN (Ejército Zapatista de Liberación Nacional/Tentara Pembebasan Zapatista). Kabar itu saya baca di sini http://www.bbc.com/news/world-latin-america-27569695

Seharusnya kejadian itu tidak menimbulkan perasaan kosong seperti ini. Seharusnya saya menyambut baik keputusan "El Sub" Marcos untuk mundur dari kepemimpinan Zapatista. Seharusnya saya gembira sang El Sub memberi kesempatan bagi pejuang Zapatista yang lain untuk menjadi pemimpin dan juru bicara kelompok revolusioner itu. Karena itu artinya Marcos membuktikan dirinya sebagai pejuang yang progresif, dan konsisten dengan ucapannya, bahwa yang penting bukan siapa yang berada di balik topeng itu. Karena yang penting adalah tindakan dan pernyataan siapa pun orang di balik topeng itu mewakili perjuangan Zapatista.

Tetapi saya tidak dapat membebaskan diri dari romantisme dan keinginan untuk melihat El Sub sebagai tokoh drama. Walau sepenuhnya sadar El Sub memang seharusnya memberikan tongkat estafet perjuangan Zapatista kepada pejuang yang lain, tetap saja dari sejak awal mengenal dia melalui tulisan-tulisannya, saya membayangkan akhir perjalanan El Sub di Zapatista akan serupa, atau mendekati, nasib Che Guevara: mati dibunuh musuh atau hilang tak pernah diketahui rimbanya.

Mungkin perasaan kosong tadi malam--juga sampai hari ini--akibat keinginan saya melihat El Sub sebagai tokoh drama revolusi tidak terpenuhi. Mungkin juga, karena di dalam kepala saya tokoh bertopeng bernama Subcomandante Marcos itu tidak bisa dilepaskan dari Zapatista. Begitu pula sebaliknya. Ketika mereka dipisahkan, saya patah hati.

Untuk rasa patah hati yang mendalam ini, saya ingin menuliskan sebuah ode. Tentang bagaimana El Sub mempengaruhi pikiran saya bertahun-tahun, membuat saya jatuh cinta dan berkhayal menjadi gerilyawan di tengah hutan, karena tulisan-tulisannya yang begitu bagus dan kurang ajar.


SEORANG lelaki tidak mencari tempat di mana kehidupan lebih baik. Seorang lelaki mencari tempat di mana kewajiban bisa dilaksanakan.”

El Sub menceritakan, dia membaca tulisan itu di bagian bawah sebuah patung kepala Che Guevara yang dihadiahkan kepadanya, lama sebelum dia memutuskan menjadi gerilyawan di hutan Chiapas, Meksiko selatan. Kabarnya ucapan itu memang pernah diucapkan Che Guevara, walau tidak ada yang bisa memastikan kebenarannya.

Mungkin ide itu yang membuat Marcos pergi ke Chiapas, membawa ransel penuh buku, lalu belajar lagi untuk mendengar dan berbicara dengan penduduk asli, sampai akhirnya memimpin pemberontakan warga asli Chiapas pada 1 Januari 1994. Itu pemberontakan yang “aneh” menurut saya. Karena kaum Zapatista tidak memberontak untuk mendirikan sebuah negara baru. Mereka memberontak untuk tetap berada dalam payung negara Meksiko, tetapi dengan otonomi khusus terutama agar hak-hak adat mereka diakui negara.

Bandingkan, misalnya, dengan pemberontakan-pemberontakan lain di planet ini yang biasanya diletupkan demi pembentukan sebuah negara baru. Kita bisa sebut misalnya pemberontakan GAM di Aceh, OPM di Papua, atau pemberontakan Basque di Spanyol.

Saya terpaku ketika membaca pernyataan para pemimpin Zapatista saat menuntut pengakuan hak-hak masyarakat adat. Sambil menunjuk pada bendera nasional Meksiko, mereka menyatakan pemberontakan itu dilakukan demi bendera itu.

Tetapi bukan pemberontakan untuk hak-hak adat semata yang membuat saya terpaku pada Zapatista dan El Sub. Yang membuat saya jatuh cinta justru komunike-komunike yang disampaikan El Sub. Saat membaca tulisan-tulisannya, saya tidak merasa berhadapan dengan seorang panglima perang. Saya juga tidak merasa berhadapan dengan seorang juru kampanye yang berbicara keras sampai mulutnya berbusa. Alih-alih, saya membaca ide dan argumen pemberontakan, melalui serangkaian kisah yang penuh humor dan satire. Sampai sekarang, saya tidak pernah membaca komunike politik dari siapa pun selain Marcos, yang menghadirkan Alice in Wonderland dan Don Quixote di dalamnya.

Lebih dari segalanya, satu tulisan El Sub yang selalu saya ingat, adalah “Kisah Seuntai Awan Kecil”, sebuah fabel sederhana tentang revolusi dan perjuangan, kaya dengan imajinasi, dan jauh dari jargon-jargon politik yang biasa hadir di pamflet-pamflet politik. Membaca “Kisah Seuntai Awan Kecil” membuat saya berjanji untuk menghapalnya, dan akan menceritakannya kepada anak saya kelak. Sekarang saya sudah memiliki seorang anak perempuan, tak akan lama lagi dia akan saya ajak menikmati kisah-kisah yang dituturkan El Sub.


KISAH-KISAH di seputar Marcos banyak yang ajaib. Ada yang mengatakan dia bisa berada di mana pun, dan mengetahui apa pun. Ada yang mengatakan, Marcos menciptakan jaringan kurir Zapatista yang lebih hebat dari kurir FedEx, dan banyak cerita lain. Saya percaya, semua itu hanya mitos atau cerita yang dilebih-lebihkan tentang dia. Tetapi, saya pun tak bisa menyalahkan mitos yang tercipta, karena Marcos begitu mudah untuk dibuat mitos, karena kecerdasannya dalam menggunakan kata-kata dan bahasa sebagai amunisi utama perjuangan.

Tetapi secerdas apa pun tulisannya, interpretasi pembaca tetap tidak dapat dibatasi, bahkan tulisan El Sub bisa mendapat respon yang menggelikan dari pembacanya, kalau tidak bisa disebut bodoh.

Saya ingat tulisan dia tentang sepatu merah perempuan berhak tinggi, yang selalu dia bawa di ranselnya. Sepatu merah itu bahkan hanya sebelah, tanpa pasangannya. Dan sepatu merah itu oleh Marcos jadikan pengingat, bahwa banyak orang yang mungkin tidak mengerti dukungan apa yang dibutuhkan para pejuang Zapatista. Buktinya, ketika komunike-komunike Marcos tersebar ke publik, banyak orang yang mengirimkan sumbangan, tetapi banyak di antara sumbangan itu yang tidak memberi arti apa-apa bagi Zapatista: termasuk di antaranya sepatu merah berhak tinggi itu. Andai pun sepatu merah berhak tinggi itu lengkap dengan pasangannya, tidak seorang pun gerilyawan Zapatista yang mau memakainya, karena tidak mungkin dipakai untuk bergerilya. Begitu pun, sepatu berhak tinggi itu tidak berguna dipakai masyarakat adat Chiapas yang berbudaya petani.

Tulisan Marcos juga dapat disalahpahami oleh sesama kelompok revolusioner. Saya ingat cerita dia tentang surat yang dia kirim untuk mendukung pemberontakan masyarakat Basque di Spanyol.  Saya lupa bagaimana detail ceritanya, tetapi singkat cerita pemberontak Basque tersinggung dengan ucapan Marcos. Terjadilah proses saling sindir melalui surat.

Mungkin pada akhirnya Marcos pun jengkel dengan sindiran-sindiran dari pemberontak Basque. Sehingga pada satu kisahnya tentang kesalahpahaman itu, dia memulai cerita dengan adegan: saat surat itu datang, dia sedang berak.


BERAPA banyak pimpinan pemberontakan bersenjata, yang juga menulis novel, puisi, dan tulisan-tulisan yang bernas tanpa melupakan humor? Berapa banyak novelis sekelas Gabriel Garcia Marquez yang begitu antusias mewawancarai seorang pemimpin pemberontak?

Ada banyak pemimpin revolusi yang cerdas dengan tulisan yang bernas. Tetapi, diakui atau tidak, mereka semua mencitrakan diri atau dicitrakan oleh pemujanya sebagai sosok yang begitu serius dan kaku. Dari Lenin sampai Soekarno, Tan Malaka sampai Che Guevara, Joseph Broz Tito sampai Mohammad Hatta, atau Mao Zedong, Ho Chi Min, sampai Muso. Mereka revolusioner, tetapi sosok mereka sulit diakrabi. Seringkali intelektualitas mereka malah menjadi pagar dengan massa.

Tetapi bersama El Sub, kita dapat terbahak membaca tulisannya, tanpa melupakan esensi dari tulisan-tulisan itu. Kita diberi ruang untuk tersenyum dan bersikap santai dalam revolusi. Kita dibuat melupakan kepentingan diri kita demi kepentingan orang lain, tanpa dibuat ngeri seperti kengerian yang membayangi revolusi Bolshevik.

Situasi perang gerilya, tidak membuat tulisan Marcos dangkal atau berisi heroisme yang berlebihan. Tulisan-tulisannya tetap terjaga kualitasnya, dan pengaruh sastra terasa begitu kuat. Mungkin itu pula yang membuat Gabriel Garcia Marquez, sang empu sastra realisme magis, mewawancarainya. Marquez memang pengagum pemberontak Zapatista, dan kekagumannya itu tidak terlepas dari pengaruh tulisan-tulisan El Sub. Bahkan Marquez mengatakan, “...apa yang terjadi di Chiapas membuatku ingin membuang buku-bukuku ke laut.”

Petikan wawancara Marquez dengan Marcos dapat dibaca terjemahannya dalam Bahasa Indonesia di sini http://sastraalibi.blogspot.com/2011/08/wawancara-gabriel-garcia-marquez-dengan.html


MARCOS memiliki beberapa nama samaran. Terakhir saya dengar dia menggunakan nama samaran “Delegate Zero”. Tetapi saya lebih nyaman mengenalnya sebagai El Sub saja, kependekan dari Subcomandante. Bahkan sebenarnya Marcos pun bukan nama aslinya.

Kabarnya dia pernah menggunakan nama samaran Zacharias, lalu berubah menjadi Marcos saat menjadi subcomandante. Saya memilih tidak peduli dengan nama aslinya, juga wajah aslinya. Saya hanya ingin mengenal sosok itu sebagai sosok bertopeng, dengan cangklong di bibir, peluru yang menyelempang, senapan, dan menunggang kuda. Dalam berbagai foto, posenya memang seperti itu, dan penampilannya cocok dengan imajinasi saya tentang bagaimana seharusya penampilan seorang pimpinan pemberontak.

Karenanya saya agak terganggu--walau harus diakui jadi penasaran juga--saat Presiden Meksiko Ernesto Zedillo Ponce de Leon pada 1995 mengumumkan, Subcomandante Marcos sebenarnya adalah Rafael Sebastián Guillén Vicente, lelaki kelahiran Tampico pada 1957, seorang mantan profesor, satu dari lima mahasiswa Departemen Filsafat dan Sastra Universitas Otonomi Nasional Meksiko, yang lulus dengan nilai terbaik dan mendapatkan medali kepresidenan dari Presiden Meksiko, José López Portillo, pada 1981.

El Sub tidak pernah mengakui atau membantah identitas itu. Dan akhirnya saya percaya jika El Sub memang Rafael. Foto-fotonya mirip, latar belakang pendidikannya meninggalkan jejak jelas dalam tulisan-tulisannya . Dan tentu saja kenyataan itu mengganggu imajinasi saya.

Tetapi puncak gangguan terhadap imajinasi itu benar-benar terjadi tadi malam.  Bukan saja masalah El Sub yang mengundurkan diri dari EZLN, tetapi dia juga menyiratkan ada perpecahan di tubuh Zapatista.

El Sub menyebutkan ada “perubahan-perubahan internal” di Zapatista. Dia juga menegaskan, suara EZLN tidak akan keluar melalui dirinya lagi. Yang paling mengganggu (semoga ini tidak benar), dia membantah rumor tengang dirinya yang sakit keras, seraya mengatakan, rumor itu disebarkan oleh tentara pemberontak demi keuntungan mereka sendiri.

Ah, saya tidak ingin menganggap berita itu benar, karena saya menikmati imajinasi saya tentang Zapatista dan El Sub. Saya berharap Zapatista terus bergerak dan memberi inspirasi. Begitu juga El Sub Marcos, atau Rafael Sebastián Guillén Vicente, atau siapa pun dia sebenarnya, dapat terus mewarnai dunia dengan tulisan dan imajinasinya. Jika harapan itu tidak terjadi, biarlah Zapatista dan El Sub tetap hidup di dalam kepala saya, seperti saya membayangkan mereka selama ini. Agar saya dapat tetap menceritakan mereka dengan antusias kepada anak-cucu saya. Walau mungkin akhirnya mereka menganggap Zapatista dan El Sub hanya dongeng semata.***

Bandung
27 Mei 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar