Posted
by zaky on Jul 3, '08 6:26 AM for everyone di multiply
“Kunaon
si eta di geroan si Ateul (dalam bahasa Indonesia artinya Gatal)?”
tanya saya.
”Teuing,”
kata teman saya, ”Mungkin orangnya bisa bikin orang lain gatal-gatal.”
Entah
bagaimana saya kenal orang itu. Saya lupa bagaimana prosesnya. Kalau sampai
tidak ingat begitu, artinya perkenalan kami tidak berkesan.
Kalau
dilihat dari sisi fisik, sudah pasti saya tidak mau kenal dengan si Gatal.
Tampilannya sudah tampak pikasebeleun. Kelakuannya maceuh.
Ngomongnya sembarangan, tapi dibungkus dengan bahasa halus
Tetapi,
mungkin sudah nasib, mungkin sudah menjadi qada dan qadar saya, kalau saya
harus berteman dengan orang itu. Si Gatal. Wartawan yang belum juga kelar
kuliah S-1 nya. (Mungkin saya harus lebih menyemangati biar dia semangat
menyelesaikan skripsinya. Mungkin saya jangan lagi mengajaknya mabuk. Tapi dia
memang suka mabuk. Anggur buah merah, intisari, dan arak, kesukaannya).
Si
Gatal punya toko buku. Atau mungkin dia bekerja di toko buku
itu. Saya tidak pernah bertanya. Karena sejak awal saya ke toko buku itu cuma
mau ketemu si Ajo, bukan mau kenal si Gatal. Teman senasib yang juga ada di
toko buku itu si Soleh. Bos mereka namanya Pak Nanang, walaupun tampilannya
tidak seperti bapak-bapak. Pak Nanang orangnya soleh, ga suka minum. Mungkin
dia pendukung PKS. Tapi dia tahu banyak tentang Iron Maiden.
Kembali ke
si Gatal, tidak tahu kenapa orang itu banyak basa-basi. Selalu jaga image, padahal
banyak orang tahu kalau image-nya ngga bagus. Suatu hari
pernah saya membonceng dia, naik motor saya si Thunder Biru. (Motornya dia CB
100, bututnya bukan main. Waktu itu kami mau ke Soreang. Si Gatal yakin
motornya tidak akan kuat dibawa ke Soreang. Makanya dia memohon-mohon agar bisa
ikut dibonceng oleh si Thunder Biru.)
Setiap kali
melihat cewe cakep, dia selalu berkata, ”Anjir mang! Eta hade
barang mang!” Lalu dia akan pura-pura batuk dengan keras ”EHM!!!!”
Kalau sampai
batuk saja, mungkin saya tidak akan komplain. Biasanya dia akan dengan
cengos-nya ngetrekan si eneng, ”Kaaa...mana neng?” Gusti Allah! Nada
bicaranya itu membuat saya merinding. Nadanya benar-benar pikasebeleun.
Susah buat digambarkan di sini.
Balik lagi
ke si Gatal. Waktu dibonceng itu, kami lewat Lapangan Tegalega. Saat lampu lalu
lintas menyala merah, dia bercerita:
”Ky,
urang pernah siah ditewak di dieu,” dia membuka kisah.
”Kunaon
bisa ditewak? Maneh keur ngabondon?” tanya saya.
”Lain...gelo..urang
mah tara ngabondon Mang!” dia protes.
”Terus
kunaon bisa ditewak? Maneh ditewak kusaha sih?” tanya saya.
”Ku
polisi,” kata dia.
”Maenya
polisi ujuk-ujuk newak? Emang maneh keur naon?” kata saya.
”Justru
eta mang,” kata dia, ”Urang keur sasarean di Tegalega. Terus tiba-tiba
datang polisi, langsung newak urang. ’Ini satu lagi pura-pura tidur!’ Kitu ceuk
polisi teh mang. Terus urang dibawa ka Polsek Coblong.”
”Wah?”
kata saya, ”Maenya polisi ujug-ujug newak maneh. Emang jam sabaraha
kajadiana?”
”Peuting
mang! Urang oge teu nyaho kunaon tiba-tiba ditewak. Urang protes
lah, ’Apa-apaan ini Pak?! Saya sedang tidur di sini!” Tapi anggeur
weh urang ditewak mang.”
”Ah
goblog,” kata saya, ”Eta mah maneh keur ngabondon! Maenya
peuting-peuting di Tegalega. Naon deui lamun lain keur ngabondon?”
”Ih.
Henteuuuu mang! Urang mah tara ngabondon!” dia protes.
”Enya,
terus nanaonan maneh peuting-peuting di Tegalega?” kata saya.
”Jadi
kieu mang....”
Cerita
dia terpotong, karena lampu hijau menyala. Saya tarik tuas kopling, masuk ke
gigi satu, dan Si Thunder Biru melaju ke Lingkar Selatan.
(Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar