Keluar dari ruang nakhoda, sinar
matahari sudah lembut, tetapi belum jingga. Angin laut terasa segar. Saya
melangkah ke ruang belakang untuk mengambil keresek berisi buah-buahan,
kemudian ikut bergabung dengan Bangkit di haluan.
“Merasa mual, tidak?” tanya saya.
“Lumayan. Tadi terasa sangat mual,
tetapi setelah makan kedondong, rasanya jadi lebih ringan,” jawab Bangkit.
Kami saling menatap. Entah kenapa,
perut saya terasa seperti digelitik. Rasanya ada dorongan yang begitu kuat
untuk tertawa terbahak-bahak. Lalu tawa saya meledak, tanpa sebab.
Bangkit pun demikian. Kami tertawa-tawa, sampai terkekeh-kekeh, tanpa tahu alasan kenapa kami tertawa. Lalu semuanya terasa begitu ringan. Seperti melayang. Kondisi ini mirip dengan mabuk karena mengisap ganja.
Bangkit pun demikian. Kami tertawa-tawa, sampai terkekeh-kekeh, tanpa tahu alasan kenapa kami tertawa. Lalu semuanya terasa begitu ringan. Seperti melayang. Kondisi ini mirip dengan mabuk karena mengisap ganja.
“Kenapa ya terasa seperti ini?” saya
bertanya sambil terkekeh-kekeh.
“Tidak tahu,” jawab Bangkit, juga terkekeh-kekeh.
“Kalian kenapa?” tanya Agus, yang
melongok dari ruang nakhoda, sambil ikut tertawa.
Kami tidak dapat menjawab. Kami tidak
kuat menahan tawa, sampai mengeluarkan air mata.
Agus tertawa keras. “Kalian kena mabuk
laut!”
Saya terdiam sebentar. Lalu tawa itu
meledak lagi, bahkan lebih dahsyat.
Mabuk laut?! Ya, Tuhan! Kalau mabuk
laut memang seperti ini, saya harus benar-benar mensyukurinya. Ini mabuk yang
paling membahagiakan!
“Zak, ini mabuk yang halal!” ucap
Bangkit, terkekeh.
Tawa saya meledak semakin hebat. Saya
tertawa sampai berurai air mata. Wajah saya terasa kebas.
-Bagian cerita ini diambil dari tulisan saya yang berjudul "Dimabuk Santolo", dalam buku kumpulan reportase "Komedi Sepahit Kopi" yang akan segera terbit-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar