Saya sedang mengerjakan sebuah projek buku, berisi
tulisan-tulisan feature yang menurut saya berarti dalam sepuluh tahun
perjalanan saya menjadi wartawan. Tadinya saya pikir membuat buku ini akan
mudah: tinggal mengumpulkan tulisan yang ada dan membukukannya. Ternyata saya
salah.
Saat mengumpulkan tulisan dan memilih untuk mana yang
cukup layak untuk dimasukkan ke dalam buku, saya sudah kesulitan. Ada ratusan
tulisan yang ada di folder komputer saya. Saya harus membacanya satu per satu.
Setelah saya baca kembali setiap tulisan itu, ingatan
saya dibawa kembali pada bagaimana setiap tulisan itu dibuat. Setiap tulisan
memiliki kenangannnya sendiri-sendiri, dan yang pasti proses penulisannya panjang. Ada
tulisan yang memang saya rencanakan, dan saya gali sendiri. Ada juga tulisan
yang prosesnya seakan-akan tiba-tiba. Untuk yang terakhir itu, faktor
keberuntungan memainkan peran yang lebih besar.
Setelah memilih sepuluh tulisan, ide saya
untuk buku kumpulan tulisan itu berubah lagi. Saya tidak ingin buku kumpulan
tulisan itu hanya menjadi semacam kliping berita koran saja. Saya ingin
membuatnya menjadi lebih personal, memasukkan pengalaman pribadi saya di dalam
setiap tulisan itu, yang tidak dapat saya masukkan dalam edisi yang terbit di
koran.
Dan itu artinya, saya harus menulis ulang setiap tulisan itu. Saya harus membuka-buka kembali catatan-catatan yang ada, menggali ingatan untuk setiap detil peristiwanya, membongkar tulisan versi awal, dan menulisnya kembali menjadi bentuk yang benar-benar baru, dan jauh lebih panjang.
Dan itu artinya, saya harus menulis ulang setiap tulisan itu. Saya harus membuka-buka kembali catatan-catatan yang ada, menggali ingatan untuk setiap detil peristiwanya, membongkar tulisan versi awal, dan menulisnya kembali menjadi bentuk yang benar-benar baru, dan jauh lebih panjang.
Sebagai contoh, untuk sebuah cerita tentang perjalanan
saya melaut bersama nelayan di Santolo, Garut selatan, versi yang pernah terbit
secara serial di Pikiran Rakyat pada 2003 hanya sepanjang 6 halaman A4 atau
2.351 kata. Setelah ditulis ulang secara lebih personal, tulisan itu berkembang
menjadi 25 halaman A4 atau 7.352 kata. Saya tidak tahu akan menghabiskan berapa
halaman tulisan itu ketika dituangkan dalam format buku.
Jika setiap tulisan yang telah saya tulis ulang
rata-rata sepanjang 25 halaman A4, maka 10 tulisan akan menghabiskan 250
halaman A4. Jika dituangkan dalam format buku, setidaknya akan menghabiskan
sekitar 300-350 halaman. Ini mungkin akan jadi persoalan, terutama dalam hal
biaya cetak, jika buku itu saya terbitkan secara independen.
Tetapi saya tidak ingin memikirkan biaya produksi buku
itu. Saat ini saya hanya ingin menyelesaikan proses penulisannya dulu. Jika
sudah selesai, baru akan saya pikirkan biaya produksinya. Mudah-mudahan saja
ada rejeki lebih.
Itu baru persoalan teknis. Persoalan berikutnya,
bagaimana saya akan menyebut isi buku itu, apakah kumpulan karya jurnalistik,
atau sebuah jurnal personal?
Dengan cara penulisan yang sangat personal, termasuk
didalamnya menuliskan “kehadiran dan keterlibatan” saya di dalam liputan itu,
saya pikir akan banyak orang yang keberatan jika saya menyebutnya sebagai
kumpulan karya jurnalistik. Sebab, di Indonesia cara menulis seperti itu masih
dianggap tidak lazim. Sepanjang yang saya rasakan dan saya ketahui, di Indonesia
penulisan karya jurnalistik seakan-akan harus selalu parsial, selalu ada jarak
antara penulis dengan yang ditulis.
Sedangkan di luar negeri, misalnya jurnalis-jurnalis
Amerika Serikat, tampaknya sudah terbiasa dengan cara penulisan yang personal,
dengan hadirnya kata “saya” di dalam setiap tulisan mereka. Kalau boleh saya
ambil contoh cara penulisan seperti itu dilakukan oleh Sebastian Junger, seperti
terbaca di dalam buku kumpulan tulisannya yang berjudul “Fire”, atau juga
Hunter S. Thomson dalam buku “Hell’s Angels”
Tetapi setelah dipikir lebih jauh lagi, kenapa juga
saya harus memikirkan apakah karya-karya saya di dalam buku itu nanti akan dikategorikan
sebagai laporan jurnalistik atau bukan. Itu bukan urusan saya, karena urusan
saya adalah menulisnya dengan benar, dan menampilkan sisi menarik (atau mungkin
juga penting) dari setiap tulisan.
Lalu apa pentingnya buku kumpulan tulisan itu
diterbitkan? Ini pertanyaan yang agak tricky.
Secara pribadi, sebenarnya saya hanya ingin
mendokumentasikan karya-karya yang menurut saya cukup berarti, sebagai catatan
pribadi saya, dan mungkin juga akan berguna bagi orang lain, jika mereka ingin
mengetahui sekelumit hidup manusia di suatu daerah tertentu, dalam konteks dan kurun
waktu tertentu. Alasan lainnya, saya ingin mencoba sebuah gaya penulisan yang
relatif baru (jika dilihat dari sudut pandang jurnalisme secara umum di
Indonesia), dan barangkali gaya penulisan itu akan menjadi bahan diskusi untuk
pengembangan gaya penulisan jurnalistik di Indonesia.
Tetapi setelah dipikir-pikir, alasan yang kedua itu
terdengar terlalu “belagu”. Karena toh gaya penulisan yang personal seperti itu
sudah dilakukan oleh para pionir jurnalisme Indonesia sejak dulu, setidaknya
yang saya tahu sejak era 1950-an. Misalnya, yang dilakukan oleh Misbach Yusa Biran dalam buku “Keajaiban di Pasar
Senen”, juga oleh Mochtar Lubis dalam buku “Perang Korea”.
Jadi alasan yang pertama yang mungkin lebih dapat
diterima. Dan alasan kedua lebih baik diludahi saja.
Terlepas dari ide membuat buku kumpulan tulisan itu,
saya memang selalu terpesona oleh karya-karya jurnalis yang sifatnya personal.
Saya sangat menyukai “Keajaiban di Pasar Senen”, “Perang Korea”, juga “Fire”
dan “Hell’s Angels”. Menurut saya, dengan gaya penulisan yang personal,
penulisnya memberi ruang yang cukup luas untuk menggambarkan kenyataan
liputannya secara utuh. Bukan sekadar hal-hal yang dianggap “penting” dan “serius”
saja yang dimasukkan ke dalam tulisannya, tetapi juga ada ruang yang luas untuk
mengungkapkan kekonyolan, juga komedi dari kehidupan manusia yang mereka liput.
Ruang untuk hal-hal itu --yang mungkin akan dianggap
tidak penting oleh kritikus dan pemerhati jurnalisme—menurut saya justru
penting, karena akan memudahkan pembaca untuk melihat fakta secara lebih utuh,
dan membuat tulisan itu menjadi semakin dekat dengan “kebenaran”. Posisi sang
penulis yang juga disebut (bahkan mungkin ikut memainkan peran) di dalam
karya-karya seperti itu, juga membuat pembaca dapat lebih jelas melihat
bagaimana proses liputan itu berlangsung. Menurut saya, itu adalah bagian dari
upaya penulis untuk lebih jujur dalam mengungkapkan proses liputannya.
Belakangan, banyak orang mengkategorikan karya seperti
itu sebagai bagian dari “genre” immersion
journalism, sebuah kegiatan jurnalistik di mana jurnalisnya terlibat (immerse) dalam peristiwa yang dia liput.
Tetapi bagi saya saat ini, penciptaan istilah-istilah semacam itu hanyalah
upaya pengkotak-kotakan, dan mencari definisi-definisi, yang malah tidak jelas
juntrungannya.
Secara sederhana, saya melihat setiap upaya untuk
mengembangkan gaya dan cara peliputan dan penulisan, adalah upaya sebagian
jurnalis untuk menembus batas-batas aturan jurnalisme, yang seringkali diterjemahkan
begitu kaku dan dibuat mengikat. Dan menurut saya, karya-karya mereka yang mau
dan mampu menembus batas itu, justru luar biasa menarik, dan penting untuk
dibaca oleh setiap generasi. Para penulisnya pun tidak sibuk mengkotak-kotakan
atau mendefinisikan apa yang telah mereka lakukan. Itulah tahap di mana seorang
jurnalis merdeka dalam meliput dan menulis.
Sedangkan untuk saya sendiri, saat ini saya masih
terus berupaya menyelesaikan tulisan-tulisan itu. Mungkin satu atau dua tulisan
yang sudah selesai saya tulis, akan saya bagi di blog ini.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar