Saya mengikuti sebuah diskusi di Huffingtonpost.com, berawal
dari sebuah postingan seorang relawan dari luar negeri yang mengajarkan tentang
bahayanya Nazi kepada siswa sekolah menengah. Relawan itu tergugah untuk
memberikan penjelasan tentang Hitler dan Nazi karena merasa khawatir dengan
anak-anak sekolah yang dengan bangga menggunakan simbl-simbol Nazi seperti
swastika dan lain-lain.
Tentu menyenangkan ada orang luar yang mau meluangkan waktu
mengajarkan sekelumit sejarah Perang Dunia II kepada anak-anak kita, mengingat
pelajaran sejarah di sekolah mungkin tidak menyinggung banyak tentang bagian
sejarah itu. Dan juga harus disyukuri ada orang luar yang mau memberikan
perspektif kemanusiaan, pada sebuah peristiwa sejarah, untuk membantu anak-anak
itu memahami konteks sejarah dan mengaitkannya dengan diri mereka, jika mereka
berada di dalam konteks sejarah itu. Pertanyaan yang sangat bagus diajukan sang
guru, apakah jika kalian hidup di jaman itu dan di wilayah itu, kalian akan bertahan
hidup?
Tetapi yang menarik perhatian saya, bukan kiprah sang guru
dan interaksi dia dengan anak-anak didiknya. Yang menjadi perhatian saya adalah
komentar atas postingan itu, yang—mudah-mudahan saya salah—begitu khawatir
dengan perilaku anak-anak itu, hanya karena mereka mengenakan simbol-simbol
Nazi. Dan diskusi pun mengarah pada sentimen anti-Yahudi atau Judeophobia di
Indonesia, yang sebenarnya terlalu rumit untuk dapat segera disimpulkan, bahwa
dandanan anak-anak itu menggambarkan sikap anti-Yahudi.
Juga muncul tudingan, sikap anti-Yahudi disebabkan peran
ulama Islam dan media yang ikut mengkampanyekannya. Ya, saya setuju itu menjadi
salah satu faktor, tetapi bukan satu-satunya, dan belum tentu juga menjadi
faktor yang dominan. Dan sejujurnya, saya kerap merasa gerah dengan khotbah
kaum ulama yang membuang-buang waktu dengan mengobarkan kebencian kepada Yahudi
dan umat lain, padahal persoalan kemiskinan dan kebodohan umat mereka menjadi
pokok persoalan yang harus segera dicari solusinya.
Ada juga tudingan, bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang
rasis, dan dituding telah melakukan genocide terhadap etnis Tinghoa. Saya
percaya memang ada sikap rasis di sebagian orang di bangsa ini, juga ada
pembunuhan terhadap etnis Tionghoa dalam beberapa even sejarah bangsa ini.
Tetapi tudingan itu tidak dapat begitu saja diarahkan secara umum.
Kalau mau disebut genocide terhadap etnis Tionghoa, yang
melakukannya pertama kali adalah VOC di Batavia. Pembunuhan yang dilakukan
secara sistematis, untuk meredam pemberontakan. Dan justru genocide yang
dilakukan oleh negara kepada yang tertuduh sebagai komunis pada 1965 tidak
dibahas di diskusi itu. Pun demikian peristiwa Tanjung Priok, dan lain-lain.
Kembali ke persoalan Nazi, saya sendiri sebenarnya tidak
terlalu khawatir anak-anak yang menggunakan simbol Nazi akan terjerumus pada
gerakan neo-Nazi. Saya hanya melihat mereka sebagai anak-anak yang kurang
mendapatkan cerita yang utuh tentang sejarah Hitler, Nazi, dan Perang Dunia II.
Mereka hanya terpesona oleh “kegagahan” yang ditunjukkan Hitler dan pasukannya,
tanpa mengetahui apa yang dilakukan orang-orang gila itu. Kalau melihat
sepintas tanpa menganalisa, paling saya hanya akan menyebut anak-anak itu
sebagai anak kampungan atau tidak terpelajar.
Dan argumen itulah yang saya coba sampaikan di dalam diskusi
atas postingan di Huffingtonpost. Bahwa perilaku sebagian kecil anak-anak
Indonesia, di Pulau Jawa, tidak perlu dikhawatirkan dan mereka tidak perlu
menghakimi seluruh bangsa ini, karena mereka tidak memahami konteks masyarakat
seperti apa yang mereka bicarakan, dan bagaimana alur sejarah bangsa ini.
Saya katakan, isu Nazi dan Judeophobia bukan persoalan besar
di sini. Isu-isu itu hanya menjadi bagian dari penyaluran kekecewaan saja, atas
apa yang dialami oleh sebagian orang di negara ini. Konteks sejarah kita juga
tidak banyak bersimpang jalan dengan apa yang dialami oleh umat Yahudi dan Nazi
dalam Perang Dunia II. Dan jelas bagi bangsa ini, ketika kita membicarakan
sejarah seputar Perang Dunia II, yang menjadi musuh di mata kita adalah
Belanda, Jepang, dan Sekutu. Karena tiga pihak itu yang membawa kesengsaraan
perang secara langsung kepada banga kita. Tidak ada Nazi. Tidak ada Yahudi.
Tetapi bukan artinya saya tidak bersimpati atas apa yang
dialami umat Yahudi Eropa saat Nazi berkuasa. Hanya saja, sulit bagi kita untuk
memberikan empati secara nyata, kecuali ikut berbela sungkawa. Karena menurut
saya, penderitaan bangsa ini pun masih banyak yang harus diungkap dan
dipikirkan.
Bagi saya, alih-alih menunjukkan kekhawatiran yang besar
terhadap anak-anak yang menggunakan simbol Nazi, saya lebih khawatir jika
anak-anak tidak tahu sejarah bangsa ini yang tak kalah kelam. Pembantaian (mungkin
jutaan) orang-orang yang tertuduh sebagai komunis setelah 1965 masih belum
berani kita buka dengan jujur, penculikan dan pembunuhan orang-orang yang
menentang Orde Baru, juga belum terungkap dengan tuntas. Belum lagi beragam penganiayan
terhadap para aktivis buruh, petani, dan para jurnalis, masih terus membayangi
sampai hari ini.
Saya juga juga lebih mengkhawatirkan sikap tidak toleran
yang ditunjukkan kaum agama terhadap agama lainnya, apakah itu yang berasal
dari kalangan Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan sebagainya. Karena
aksi kekerasan atas nama agama sudah terjadi di sini, terhadap umat lain, yang
masih saudara satu bangsa. Tetapi saya belum mendengar ada orang Yahudi yang
dibunuh atau dipukuli di sini, walau sentimen anti-Yahudi harus diakui memang
ada.
Jadi wahai para cendekia yang pintar-pintar di Barat, kami
paham apa itu genocide karena kami mengalaminya. Kami paham apa artinya
kekerasan atas nama keyakinan karena kami mengalaminya. Kami paham apa artinya
menjadi korban penyeragaman kepercayaan karena kami mengalaminya. Kami paham
apa artinya diperkosa dan dibunuh oleh bangsa lain, karena kami mengalaminya. Kami
paham artinya diskriminasi ras dan kewarganegaraan, karena kami mengalaminya,
bahkan sebagian dari kami mengalaminya di negara-negara anda, juga di
kedutaan-kedutaan besar anda di negara ini.
Kami tidak takut Nazi akan berkembang di sini, karena itu
terlalu bodoh untuk dilakukan. Yang kami takutkan adalah akar dari Nazi itu
sendiri: fasisme dan sikap merasa benar sendiri yang selalu mencari ruang untuk
berkembang, dengan wujud yang lain, wajah yang lain, seragam yang lain.
Dan tudingan tanpa dasar terhadap perilaku bangsa lain, juga
adalah tradisi dari fasisme itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar