Rabu, 03 April 2013

Social Distortion Campursari


Malam ini perasaan saya campur aduk. Sulit untuk menjelaskan pangkalnya, karena rasanya di satu waktu ada berbagai perasaan dan pikiran yang memenuhi kepala saya. Campur aduk.
Kalau ditarik mundur, mungkin awalnya dari minggu kemarin, ketika tiba-tiba saja saya ingin membuat sebuah band lagi. Band punk/rock n’ roll/rockabilly atau yang sejenisnya. Kenapa saya tiba-tiba ingin punya band baru
, karena band lama saya Citizen Echo sudah lebih dari satu bulan ini tidak aktif. Latihan di studio tidak, bertemu dengan para personel pun tidak. Tentu saja saya kesal, karena sebenarnya banyak yang harus digarap oleh Citizen Echo agar kami terus menghasilkan karya.
Ya, saya kesal, tetapi tidak mau juga keluar dari Citizen Echo. Bagaimana pun, Citizen Echo adalah band terbaik yang pernah saya ikuti. Ada enam orang yang tergabung di band ini, dan kami menjadi Citizen Echo sebagai wadah untuk mendorong semua batas kemampuan kami bermusik di wilayah punk rock dan metal. Band ini band yang sangat bagus, karenanya saya sangat kesal ketika kami berhenti beraktivitas selama lebih dari sebulan terakhir ini.
Kemudian, pada suatu hari di pekan lalu, saya menjalani rutinitas di kantor, mengedit berbagai tulisan, sambil mendengarkan song list di myspace.com. Dan saya terpaku pada lagu Angel’s Wings dari Social Distortion. Sebenarnya, sudah lama juga lagu itu ada di song list saya. Tetapi hari itu terasa lain. Dan spontan saya mengirim pesan ke via twitter kepada teman saya sejak SMA, Luki, seorang pemain drum, mengajaknya untuk membentuk band side-project, untuk membawakan lagu-lagu dari Social Distortion. Dia langsung mengatakan setuju.
Lalu, saya sms salah seorang pemain gitar Citizen Echo, Kimsky, yang malam sebelumnya mengeluhkan Citizen Echo yang sudah lama tidak ada aktivitas. Saya mengajak dia untuk bergabung di band baru ini. Dia pun langsung mengiyakan.
Baru pada tahap ada dua orang yang mau bergabung di dalam band yang membawakan lagu-lagu Social Distortion, saya sudah merasa sangat senang, dan bersemangat. Padahal belum ada kepastian apa pun tentang lagu-lagu mana saja yang akan kami bawakan, atau kapan kami akan mulai latihan di studio, atau apa nama band ini. Bahkan pemain bass-nya pun kami belum punya, dan tidak tahu siapa yang bisa diajak untuk memainkan bass.
Kenapa Social Distortion? Saya sendiri tidak tahu pasti. Lagu-lagu dari band itu relatif gampang, paling lagu-lagunya hanya berisi tiga atau empat chord saja. Musiknya mudah dicerna. Masih jauh lebih rumit musik Citizen Echo dibanding Social Distortion.
Alasan yang paling kuat, mungkin karena liriknya. Lirik yang ditulis oleh Mike Ness, vokalis Social Distrotion, tidak neko-neko. Dia menulis lirik dan bernyanyi dengan jujur. Tentang kehidupannya sebagai musisi yang hidup di jalan. Tentang harapan-harapan sederhananya sebagai laki-laki dan manusia, yang ingin hidup sebagai musisi rock n’roll, tidak diikat banyak aturan, hidup penuh kesenangan, dan memiliki pasangan yang setia. Juga tentang pengalaman-pengalaman kehidupan jalanan, yang seringkali keras, muram, dan mungkin berujung di penjara atau di kematian yang tak wajar.
Cerita dari lirik-lirik lagu itu terasa sangat akrab di telinga, hati, dan ingatan saya. Ya, kehidupan jalanan memang selalu melahirkan banyak kisah. Lirik lagu-lagu Social Distortion mengungkap kembali banyak ingatan, membawa saya pada detil-detil peristiwa selama saya menjadi orang jalanan paruh waktu di akhir 1990-an.
**
Malam ini saya menulis di blog ini dalam kondisi setengah mabuk. Baru tadi sore saya bertemu dengan kawan-kawan lama, yang saya kenal sejak 1998 atau1999 di Jalan Purnawarman, Kota Bandung. Kami saling bertukar kisah yang kami alami bersama, saling mengoreksi detil peristiwa, dan menertawakan peristiwa-peristiwa pahit, getir, dan manis, yang kami alami bersama. Kami saling bercerita dengan suguhan bergelas-gelas bir dingin. Di luar gerimis mengiringi kisah-kisah kami.
Tentang Si A yang masuk rumah sakit jiwa Si B yang ditangkap polisi, Si C yang mati overdosis, Si D yang dipukuli orang-orang, Si E yang kecanduan, dan semua kawan dan lawan yang sekarang sulit sekali ditemui. Yang kami miliki sekarang hanyalah kenangan untuk ditertawakan. Dan sepanjang percakapan itu, lagu-lagu Social Distortion terngiang di telinga saya.
Saat itulah saya mendapatkan jawaban, kenapa saya menyukai musik dari sebuah band yang sering disebut sebagai band meaningless, cemen, urakan, dan sebagainya. Bagi saya, musik dan lirik bukan hanya bermuara menjadi sebuah lagu untuk dianalisa apa arti liriknya dan seberkualitas apa musiknya. Seringkali musik dan lirik cukup dimaknai dengan kenangan dan perasaan yang sangat personal. Bisa jadi musik dan liriknya begitu sederhana, tetapi lagu itu membangkitkan kenangan, dan makna liriknya terasa dekat dengan pengalaman hidup kita sendiri.
Dari percakapan sore tadi, saya jadi menelusuri kembali perjalanan hidup saya mulai dari remaja sampai hari ini. Betapa rumitnya menapaki kembali sejarah hidup. Apalagi muncul pertanyaan-pertanyaan yang tidak ada habisnya, tentang bagaimana saya bisa kenal mereka? Bagaimana hidup saya jika tidak kenal mereka? Kenapa saya menjadi orang yang seperti sekarang ini? Kenapa mereka menjadi mereka seperti yang saya lihat sore ini? Akan ke mana arah hidup saya jika saya tidak pernah mengalami periode hidup di jalanan pada akhir 1990-an itu?
Saya tidak dapat menemukan jawabannya. Saya hanya bisa mengatakan kehidupan saya penuh keajaiban. Hidup ini memang ajaib. Hidup manusia memang ajaib. Karena kita punya kenangan dan kita punya cara memaknai kenangan itu. Dan lebih dari itu, saya berani bertaruh dengan diri saya sendiri, pengalaman hidup yang saya miliki cukup extraordinary.
Ajo, salah satu teman bicara saya sore tadi, menyentil kembali sebuah janji yang pernah saya buat bertahun-tahun lalu, “Jadi kapan kamu akan menulis tentang kita semua? Tentang Jalan Purnawarman.”
Tidak tahu. Sejak memasuki tahun 2013 ini, entah kenapa saya menemukan kembali banyak detil tentang pengalaman hidup saya sendiri dan pengalaman hidup orang lain, yang begitu luar biasa. Bahkan saya yang mengalaminya sendiri pun merasa terheran-heran, bagaimana saya bisa memiliki pengalaman-pengalaman hidup semacam itu? Bagaimana orang-orang yang saya temui dapat memiliki pengalaman-pengalaman yang begitu luar biasa?
Dan berbagai ingatan dan temuan yang meyerang kepala saya sejak Januari 2013 telah mendorong saya untuk menuliskannya kembali dalam bentuk catatan-catatan perjalanan. Dan daftar yang saya bebankan kepada diri saya untuk ditulis menjadi buku, artikel, atau apa pun bentuk tulisannya, sudah begitu panjang. Kisah Jalan Purnawarman kini masuk di dalam daftar itu.
Dan saya begitu stres sekarang, karena tidak tahu bagaimana saya akan menyelesaikan semua itu. Hal lain, bagaimana saya akan menyelesaikannya jika saya tidak punya uang? Jika pun saya menyelesaikannya, lalu akan diterbitkan oleh siapa? Lalu akan berguna bagi siapa kisah-kisah itu?
Saya tidak tahu.
Yang saya tahu, ada dorongan yang sangat besar di diri saya sekarang untuk, menyelesaikan menulis kisah-kisah itu, entah bagaimana caranya, entah untuk alasan apa. Sebelum saya mati, saya harus menyelesaikan semua kisah itu.
Umur saya 35, dan saya merasa sangat tua.

1 komentar:

  1. saya 24 jalan 25 thn merasa sangat tua,hiruk pikuk jalanan 3thn lalu masih tergambar jelas. . .tak ada kawand kini,menanti skenario dr TUHAN. . .

    BalasHapus