Malam ini perasaan saya campur aduk. Sulit untuk
menjelaskan pangkalnya, karena rasanya di satu waktu ada berbagai perasaan dan
pikiran yang memenuhi kepala saya. Campur aduk.
Kalau ditarik mundur, mungkin awalnya dari minggu
kemarin, ketika tiba-tiba saja saya ingin membuat sebuah band lagi. Band
punk/rock n’ roll/rockabilly atau yang sejenisnya. Kenapa saya tiba-tiba ingin
punya band baru
, karena band lama saya Citizen Echo sudah lebih dari satu bulan
ini tidak aktif. Latihan di studio tidak, bertemu dengan para personel pun tidak.
Tentu saja saya kesal, karena sebenarnya banyak yang harus digarap oleh Citizen
Echo agar kami terus menghasilkan karya.
Ya, saya kesal, tetapi tidak mau juga keluar dari
Citizen Echo. Bagaimana pun, Citizen Echo adalah band terbaik yang pernah saya
ikuti. Ada enam orang yang tergabung di band ini, dan kami menjadi Citizen Echo
sebagai wadah untuk mendorong semua batas kemampuan kami bermusik di wilayah
punk rock dan metal. Band ini band yang sangat bagus, karenanya saya sangat
kesal ketika kami berhenti beraktivitas selama lebih dari sebulan terakhir ini.
Kemudian, pada suatu hari di pekan lalu, saya
menjalani rutinitas di kantor, mengedit berbagai tulisan, sambil mendengarkan song
list di myspace.com. Dan saya terpaku pada lagu Angel’s Wings dari Social Distortion.
Sebenarnya, sudah lama juga lagu itu ada di song list saya. Tetapi hari itu
terasa lain. Dan spontan saya mengirim pesan ke via twitter kepada teman saya
sejak SMA, Luki, seorang pemain drum, mengajaknya untuk membentuk band
side-project, untuk membawakan lagu-lagu dari Social Distortion. Dia langsung
mengatakan setuju.
Lalu, saya sms salah seorang pemain gitar Citizen Echo,
Kimsky, yang malam sebelumnya mengeluhkan Citizen Echo yang sudah lama tidak
ada aktivitas. Saya mengajak dia untuk bergabung di band baru ini. Dia pun
langsung mengiyakan.
Baru pada tahap ada dua orang yang mau bergabung di
dalam band yang membawakan lagu-lagu Social Distortion, saya sudah merasa
sangat senang, dan bersemangat. Padahal belum ada kepastian apa pun tentang
lagu-lagu mana saja yang akan kami bawakan, atau kapan kami akan mulai latihan
di studio, atau apa nama band ini. Bahkan pemain bass-nya pun kami belum punya,
dan tidak tahu siapa yang bisa diajak untuk memainkan bass.
Kenapa Social Distortion? Saya sendiri tidak tahu
pasti. Lagu-lagu dari band itu relatif gampang, paling lagu-lagunya hanya
berisi tiga atau empat chord saja. Musiknya mudah dicerna. Masih jauh lebih
rumit musik Citizen Echo dibanding Social Distortion.
Alasan yang paling kuat, mungkin karena liriknya.
Lirik yang ditulis oleh Mike Ness, vokalis Social Distrotion, tidak neko-neko.
Dia menulis lirik dan bernyanyi dengan jujur. Tentang kehidupannya sebagai
musisi yang hidup di jalan. Tentang harapan-harapan sederhananya sebagai
laki-laki dan manusia, yang ingin hidup sebagai musisi rock n’roll, tidak
diikat banyak aturan, hidup penuh kesenangan, dan memiliki pasangan yang setia.
Juga tentang pengalaman-pengalaman kehidupan jalanan, yang seringkali keras,
muram, dan mungkin berujung di penjara atau di kematian yang tak wajar.
Cerita dari lirik-lirik lagu itu terasa sangat akrab
di telinga, hati, dan ingatan saya. Ya, kehidupan jalanan memang selalu
melahirkan banyak kisah. Lirik lagu-lagu Social Distortion mengungkap kembali banyak
ingatan, membawa saya pada detil-detil peristiwa selama saya menjadi orang
jalanan paruh waktu di akhir 1990-an.
**
Malam ini saya menulis di blog ini dalam kondisi
setengah mabuk. Baru tadi sore saya bertemu dengan kawan-kawan lama, yang saya
kenal sejak 1998 atau1999 di Jalan Purnawarman, Kota Bandung. Kami saling
bertukar kisah yang kami alami bersama, saling mengoreksi detil peristiwa, dan menertawakan
peristiwa-peristiwa pahit, getir, dan manis, yang kami alami bersama. Kami
saling bercerita dengan suguhan bergelas-gelas bir dingin. Di luar gerimis
mengiringi kisah-kisah kami.
Tentang Si A yang masuk rumah sakit jiwa Si B yang
ditangkap polisi, Si C yang mati overdosis, Si D yang dipukuli orang-orang, Si
E yang kecanduan, dan semua kawan dan lawan yang sekarang sulit sekali ditemui.
Yang kami miliki sekarang hanyalah kenangan untuk ditertawakan. Dan sepanjang
percakapan itu, lagu-lagu Social Distortion terngiang di telinga saya.
Saat itulah saya mendapatkan jawaban, kenapa saya
menyukai musik dari sebuah band yang sering disebut sebagai band meaningless,
cemen, urakan, dan sebagainya. Bagi saya, musik dan lirik bukan hanya bermuara
menjadi sebuah lagu untuk dianalisa apa arti liriknya dan seberkualitas apa
musiknya. Seringkali musik dan lirik cukup dimaknai dengan kenangan dan
perasaan yang sangat personal. Bisa jadi musik dan liriknya begitu sederhana,
tetapi lagu itu membangkitkan kenangan, dan makna liriknya terasa dekat dengan
pengalaman hidup kita sendiri.
Dari percakapan sore tadi, saya jadi menelusuri
kembali perjalanan hidup saya mulai dari remaja sampai hari ini. Betapa
rumitnya menapaki kembali sejarah hidup. Apalagi muncul pertanyaan-pertanyaan
yang tidak ada habisnya, tentang bagaimana saya bisa kenal mereka? Bagaimana
hidup saya jika tidak kenal mereka? Kenapa saya menjadi orang yang seperti
sekarang ini? Kenapa mereka menjadi mereka seperti yang saya lihat sore ini? Akan
ke mana arah hidup saya jika saya tidak pernah mengalami periode hidup di
jalanan pada akhir 1990-an itu?
Saya tidak dapat menemukan jawabannya. Saya hanya
bisa mengatakan kehidupan saya penuh keajaiban. Hidup ini memang ajaib. Hidup
manusia memang ajaib. Karena kita punya kenangan dan kita punya cara memaknai
kenangan itu. Dan lebih dari itu, saya berani bertaruh dengan diri saya
sendiri, pengalaman hidup yang saya miliki cukup extraordinary.
Ajo, salah satu teman bicara saya sore tadi,
menyentil kembali sebuah janji yang pernah saya buat bertahun-tahun lalu, “Jadi
kapan kamu akan menulis tentang kita semua? Tentang Jalan Purnawarman.”
Tidak tahu. Sejak memasuki tahun 2013 ini, entah
kenapa saya menemukan kembali banyak detil tentang pengalaman hidup saya
sendiri dan pengalaman hidup orang lain, yang begitu luar biasa. Bahkan saya
yang mengalaminya sendiri pun merasa terheran-heran, bagaimana saya bisa
memiliki pengalaman-pengalaman hidup semacam itu? Bagaimana orang-orang yang
saya temui dapat memiliki pengalaman-pengalaman yang begitu luar biasa?
Dan berbagai ingatan dan temuan yang meyerang kepala
saya sejak Januari 2013 telah mendorong saya untuk menuliskannya kembali dalam
bentuk catatan-catatan perjalanan. Dan daftar yang saya bebankan kepada diri
saya untuk ditulis menjadi buku, artikel, atau apa pun bentuk tulisannya, sudah
begitu panjang. Kisah Jalan Purnawarman kini masuk di dalam daftar itu.
Dan saya begitu stres sekarang, karena tidak tahu
bagaimana saya akan menyelesaikan semua itu. Hal lain, bagaimana saya akan
menyelesaikannya jika saya tidak punya uang? Jika pun saya menyelesaikannya,
lalu akan diterbitkan oleh siapa? Lalu akan berguna bagi siapa kisah-kisah itu?
Saya tidak tahu.
Yang saya tahu, ada dorongan yang sangat besar di
diri saya sekarang untuk, menyelesaikan menulis kisah-kisah itu, entah bagaimana
caranya, entah untuk alasan apa. Sebelum saya mati, saya harus menyelesaikan
semua kisah itu.
Umur saya 35, dan saya merasa sangat tua.
saya 24 jalan 25 thn merasa sangat tua,hiruk pikuk jalanan 3thn lalu masih tergambar jelas. . .tak ada kawand kini,menanti skenario dr TUHAN. . .
BalasHapus